Kamis, 31 Juli 2008

Akses Internet Massal

Photobucket


Sumber : Kompas, Kamis, 31 Juli 2008

Ngenet Bareng Masuk Rekor Muri

Photobucket

Sumber : Suara Merdeka, Kamis, 31 Juli 2008

Internet : Mereka Menikmati "Hotspot" di "City Walk"

Photobucket

Sumber : Kompas Jawa Tengah, Kamis, 30 Juli 2008

Solo Punya Hari Gandrung Internet

Photobucket

Solo-Ratusan masyarakat Solo, kemarin sore (30/7) berbondong-bondong memadati kawasan city walk di sepanjang Jl. Slamet Riyadi, persisnya di depan Kantor Bank Mandiri. Kedatangan mereka tak lain adalah untuk mendukung acara Browsing Internet @ City Walk, sekaligus usaha untuk memecahkan rekor MURI Ngenet terbanyak.

Para peserta acara tersebut mulai berdatangan sejak pukul 16.00 dengan membawa laptop mereka sendiri-sendiri. Begitu datang, para peserta langsung mencari nomor urut yang terpasang di atas meja, yang disusun memanjang. Begitu menemukan nomor, para peserta langsung mengeluarkan laptop dan menenggelamkan diri di dunia maya.

Menurut Humas PT Telkom Kandatel Solo Rachmad Sudjito, dari data yang masuk jumlah peserta acara Browsing Internet @ City Walk tersebut diikuti sekitar 800-an orang. Mereka berasal dari beragam kalangan, mulai dari orang tua, mahasiswa, pelajar sampai anak-anak.

Namun oleh MURI hanya tercatat 500 orang. ”Kami juga tidak tahu ngitungnya bagaimana. Tapi, sepertinya ada sejumlah peserta yang belum connect saat penghitungan dimulai. Jadi tidak masuk hitungan,” ujar Eko.

Saking tingginya antusiasme masyarakat Solo, ven tersebut sekaligus ditetapkan sebagai Cyberholic atau Hari Gandrung Internet di Solo. Dengan pencanangan hari tersebut, maka acara serupa akan terus digelar setiap tanggal 30 Juli per tahunnya. ”Kegiatan ini sekaligus sebagai bentuk dukungan PT Telkom dalam mewujudkan program Pemkot Solo Solo Cyber City 2010 mendatang,” jelas Eko. (vj/tej).

Sumber : Jawa Pos Radar Solo, Kamis, 31 Juli 2008, Hal : 1 & 7.

Ketika citywalk berubah jadi arena ngenet gratis

Photobucket

Oleh : Dina Ananti Sawiti Setyani

Ratusan peserta Browsing Internet @ City Walk terlihat wira-wiri menenteng laptop ketika espos, Rabu (30/7) mengintip aktivitas para browser di citywalk. Mereka tengah bersiap untuk alsi mencetak rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) dengan peserta browsing Internet terbanyak, yakni 486 orang.

Setidaknya, sejak pukul 15.00 WIB mereka telah bersiap-siap memasang laptop di meja-meja yang dibalut kain batik. Ada sekitar 50 titik hotspot untuk diakse sekitar 400-an peserta. Ratusan peserta terlihat memenuhi areal citywalk mulai dari Megaland hingga DKT.

Sejauh mata memandang terlihat para peserta tengah sibuk memencet keyboard laptop dan asyik berselancar di dunia maya. Tak kurang meja yang disediakan panitia, di sudut lain terlihat pemandangan emnarik ketika salah peserta berumur belasan tahun tengah beraksi untuk ngenet di pohon. Beberapa di antaranya asyik emngakses Internet sembari nongkrong di becak.

Pendukung utama acara ini adalah Pemerintah Kota Surakarta, Asosiasi Pengusaha Komputer Indonesia (Apkomindo) selaku penyelenggara dan pencetus ide dan Telkom Speedy selaku penyedia akses Internet.

Menurut Ketua Apkomindo Solo, Ir Andoko, harapannya tahun 2010 Kota Solo dapat menjadi Solo Cybercity. Hotspot dapat di akses di seluruh penjuru di Kota Solo sehingga masyarakat Solo dapat mengakses informasi secara cepat dan mudah.

”Dengan menjamurnya hotspot setidaknya mengubah life style anak muda di Kota Solo. Mereka tak hanya sekedar nongkrong tapi juga main Internetan,” jelas Andoko, sambil menegaskan tanggal 30 Juli ditetapkan sebagay cyber day.

Di sudut lain terlihat, atraksi nyentrik tokoh pewayangan Punakawan tengah bermain Internet. Ada pula tari Kuda Lumping serta hik-hik yang berjajar di citywalk turut meramaikan suasana pencatatan Rekor MURI.

Menurut salah satu peserta Browsing Bareng, awan, 22, dirinya mengaku senang dengan perkembangan teknologi di kota Solo. Hal ini sebagai bukti bahwa tidak ada alasan bagi warga Solo untuk gagap teknologi. ”Pemasangan beberapa titik hotspot di public area memudahkan masyarakat untuk emngakses informasi,” papar Awan.

Sumber : Solopos, Kamis, 31 Juli 2008 : ii

Cetak Rekor MURI

Cetak Rekor. Ratusan pengguna Internet mengikuti aksi cetak rekor Museum Rekor Indonesia., ”Browsing Internet @ City Walk,” di sepanjang City Walk, Jalan Slamet Riyadi, Solo, kemarin. Aksi yang diikuti berbagai komunitas pengguna Internet tersebut merupakan salah satu program Pemerintah Kota Solo dalam mewujudkan Solo Cyber City.

Sumber : Koran Tempo Jawa Tengah & Yogyakarta, Kamis, 31 Juli 2008,Hal : C1

Senin, 28 Juli 2008

Solo Cyber City 2010 : Utopia atau Realita ?

Bambang Haryanto. Blogger. Tinggal di Wonogiri. Email :humorliner (at) yahoo.com. Sentuhan emosional. Itu yang rasanya akan saya rasakan nanti di City Walk Solo, 30 Juli 2008. Apalagi berada di tengah ratusan kaum netter Solo yang berselancar di dunia maya dengan fasilitas nirkabel guna meraih Rekor Muri.

Kenapa emosional ? Karena saya kebetulan pemegang Rekor Muri pula. Dua rekor. Sebagai pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli (2000) dan pendiri komunitas penulis suratpembaca,Epistoholik Indonesia. Yang tak kalah emosionalnya, di dekat lokasi CityWalk itu saya dilahirkan. Di DKT Gendengan, hampir tepat 55 tahun yang lalu.

Itu cerita masa lalu. Cerita kedepan, apa makna hadirnya ratusan netter itu bagi Solo di masa kini dan masa depan ? Kita tahu, dunia Internet adalah dunia yang tanpa batas, egaliter, juga interaktif. Kira-kira karakter unggulan semacam ini apa juga mencuat di benak para netter Solo untuk memikirkan Solo ?

Minimal, tergerakkah mereka mengetikkan di mesin pencari Google kata “solo” atau “surakarta” dan lalu menerbitkan niatan untuk menyumbangkan opini untuk perbaikan kota ini ? Atau terlibat dalam diskusi dengan netter lain, di mana pun berada, tentang topik yang sama ? Atau membuka-buka situs Pemkot Solo, lalu meninggalkan kritik atau saran di sana ? Atau mengirimkan email langsung ke Walikota Jokowi ?

Semoga acara itu nanti sukses. Andil saya untuk acara tersebut adalah mengusulkan agar tanggal 30 Juli didaulat sebagai Solo Cyberholic Day. Kalau Anda nanti ikut tanda tangan di banner yang telah disediakan oleh Republik Aeng Aeng di arena tersebut, maka cita-cita saya mendekati kesampaian. Semuanya pasti emosional bagi saya. Karena ibaratnya, saya seperti bisa lahir lagi sebagai "internet native" di dunia.


FX Triyas Hadi Prihantoro, guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta.

Memadukan teknologi dan warisan budaya. Metamorfosa perilaku warga untuk mengubah paradigma menuju percepatan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) membutuhkan sebuah rasa dan asa. Apalagi perubahan itu memerlukan sebuah kemampuan berpikir, kemauan untuk maju dan kehendak usaha untuk memiliki sarananya.

Seperti kehendak sebagian warga kota yang ingin “mengubah” kota Budaya Solo menuju Cybercity yang berbudaya. Menuju sebuah kota yang mengajak warganya melek teknologi tidak harus meninggalkan bahkan menghilangkan heritage culture-nya (warisan budaya). Malahan justru bagaimana komponen warga yang berusaha memajukan kota dapat memadukan teknologi dengan berbagai peninggalan budaya yang ada.

Begitulah yang terjadi di kota Solo dalam era kekinian. Sejalan dengan pencanangan kota Solo menuju cybercity hendaknya menjadikan di “hati” warga untuk juga terlecut mental, spiritual dan kehendak guna menyeimbangkan kemampuan berpikir sesuai perkembangan Informasi Teknologi (IT) yang diharapakan.


Menggerakkan warga mengubah dunia. Manuel Castell mengatakan bahwa kita tidak bisa lagi menghindar dari ledakan teknologi-informasi. Abad teknologi-informasi yang telah menjaring dan menyentuh berbagai aspek kehidupan. IT sedang berjalan untuk mengubah dunia termasuk Indonesia dan terkhusus kota Solo. Makanya Solo Cybercity mungkin menjadi salah satu upaya penggagas event untuk memulai dan memelopori daerah lain guna menyikapi IT sebagai bentuk pola hidup, partisipasi dalam peran serta merubah dunia.

Pasalnya hampir sepanjang tahun 2008 berjalan ini perkembangan IT lebih diarahkan pada kemauan menjalin teknologi jejaring Internet. Bukti bahwa pengadaaan expo/pameran komputer di Solo akhir 30 Juli 2008 sampai 3 Agustus 2008 ini dibarengi dengan kegiatan pemecahan rekor MURI (Museum Rekor Dunia Indonesia). Sebuah acara browsing bareng dengan piranti laptop (komputer jinjing) dengan jumlah peserta terbanyak dan pertama kali dilakukan.

Oleh karena itu memperdayakan IT dalam citra positif sebuah keharusan. Janganlah nantinya ”lupa diri” setelah mampu dan getol ”mengoperasikannya”. Pasalnya IT yang lekat dengan perangkat komputer yang menjadikan manusia menjadi lebih cerdas, bersahabat dan menjadi saudara kembarnya untuk menemani berkomunikasi dalam situasi apapun.

Sebab perangkat komputer saat ini bukan hanya sarana mengetik, berhitung namun mempunyai multi fungsi. Dapat digunakan berkomunikasi (chatting), mendengarkan musik, memutar film, melihat dan mengedit foto, nge-game dan fungsi-fungsi lain yang dulunya tidak terbayang.

Akhirnya betapa menyenangkannya bila sudah bersama perangkat IT. Sebab dapat menjadi teman setia dan berlama-lama bercengkerama bersamanya. Bila dapat mengoptimalkan perangkat IT maka akan bersinergis sebagai sarana bekerja sehingga tidak akan mubasir.

Komunitas untuk kebajikan. Oleh karena itu bagaimanakah IT dapat menjadikan di ”hati” penggunanya ? Perlu sebuah optimalisasi dalam penggunaan. Sebab pencanangan Solo Cybercity bukan berarti menjadi alat justifikasi untuk menyalahgunakan IT. Banyak sekali contoh dalam masyarakat tentang penyalahgunaan IT guna membantu kejahatan.

Dipertaruhkan sikap moralitas para pengguna internet di era kebebasan ini. Pasalnya yang semula dianggap tabu akan menjadi serba terbuka lebar dan nyata dalam dalam dunia maya (cyberspace). Maka perlu sebuah kearifan bagi para penggunanya.

Disinilah pembentukan komunitas awal yang proaktif dalam kebajikan. Cibercity sebagai tempat pembelajaran bersama bahwa perangkat IT dapat menjadi ajang komunikasi, bertukar pikiran dan saling belajar untuk saling mengembangkan diri.

Maka yang sangat diperlukan dan penting setelah semua hal serba terbuka. Bahwa lembaga pendidikan menjadi mitra utama untuk menyampaikan pesan moral dan budi pekerti kepada siswanya. Sebab setelah semuanya bisa diakses dengan cepat dan dimana saja.

Seperti halnya kota Solo telah memasang 50 titik hotspot dari 50 titik yang direncanakan. Tanpa dibarengi dengan pendidikan moral yang membumi kepada siswa dan kegiatan positif, sia-sialah keterbukaan yang ada saat ini.

Buat program dengan perencanan matang guna mengoptimalkan IT. Secara periodik diadakan lomba berbasis IT mulai dari membuat blog, desain grafis dan membuat program lain secara online.

Seperti kata pepatah ”sedia payung sebelum hujan”. Bekali anak didik kita dan warga dengan hal yang positif guna mereduksi dan memfilter budaya asing yang merusak generasi muda generasi penerus bangsa. Apalagi Solo sebagai kota Budaya, perlu internalisasi nilai luhur yang hakiki secara kontinyu mulai dari sekarang. Dan jangan sampai terlambat.


Jarod Maladi, pencinta teknologi informasi di Solo, peserta acara Browsing Internet@City Walk, 30/7/2008. Opini saya, Yang paling urgent agar solo cepat menjadi Solo Cyber City adalah Pengentasan Kemiskinan.





Khusban Zaini, peminat perkembangan teknologi informasi, asli Solo, berdomisili di Mojolaban, peserta acara Browsing Internet@City Walk, 30 Juli 2008>

Assalamu alaikum Wr.Wb.,
Pertama saya ucapkan selamat untuk acaranya "ngenet bareng", nuwun sewu kalau boleh memberi kritik, kami & kami kira semua peserta merasakan ada kekurangan yang mengganggu : kurangnya kesiapan menyediakan aliran listrik, bagaimana bisa terjadi acara yang sangat membutuhkan listrik namun tidak/kurang tersedia, maaf.

Cita-cita menjadikan Solo sebagai cyber city tahun 2010 menurut saya sangat bagus. Sebenarnya kami adalah warga Sukoharjo tapi saya dan istri wong Solo asli, kami mencintai kota Solo. Menurut saya untuk mendukung cita-cita tersebut perlu segera diwujudkan :

Menyediakan banyak area hotspot & gratis, bisa ditempatkan di Kantor Kecamatan bahkan di setiap Kantor Kelurahan (kalau bisa) & lain-lain tempat yang dinilai cocok untuk "ngenet"

Area Hotspot yang aman, nyaman & ada "aliran listrik".

Memberi kemudahan kepemilikan laptop, bisa menggandeng pengusaha untuk mensponsori/mensubsidi murid sekolah, mahasiswa, pemuda & warga lainnya yang sangat pingin memiliki laptop.

Sering diadakan acara oleh Pemda atau Swasta untuk umum atau di sekolah/kampus yang berkaitan dengan peningkatan kemampuan mendapatkan ilmu dari penggunaan internet. Acara tersebut dikemas secara "fun" & gratis (kalau bisa).

Insya Allah kami akan mendorong anak kami untuk mengarang seperti yang bapak maksud, beberapa minggu yang lalu anak kami memperoleh hadiah karangan terbaik tentang batik di acara yang diadakan Komunitas KETIK. Demikian, terima kasih.
Wassalam.

Sadrah Sumariyarso web programmer Solo, pengelola layanan online blog dan forum gratis Pasar Solo. Sebagai warga Solo saya merasa bangga dan waswas dengan akan diwujudkannya Solo Cyber City di tahun 2010 nanti.

Bangga karena kota ini merespon akan kebutuhan teknologi informasi yang semakin dibutuhkan oleh warga dan sekaligus waswas karena khawatir akan kesiapan Pemda dan sebagian masyarakat dalam mengantisipasi dampak-dampak yang tidak diharapkan yang mungkin akan terjadi ketika cybercity telah terwujud.

Dimulainya pembangunan infrastruktur free hotspot di publik area merupakan langkah yang baik menuju cybercity. Ketersediaan akses internet secara gratis tentu akan sangat membantu dan mendorong warga memanfaatkan internet.

Tetapi yang perlu dipikirkan juga adalah perangkat untuk mengakses layanan tersebut seperti personal komputer, notebook, ataupun alat yang lain karena tidak semua masyarakat telah memilikinya. Mungkin ada baiknya disediakan juga komputer-komputer yang bebas dipakai oleh masyarakat(khususnya yang kurang mampu) secara gratis pula di tempat-tempat tersebut sehingga fasilitas freehotspot benar-benar merata dapat dimanfaatkan oleh semua lapisan masyarakat.

Melihat kondisi saat ini, setidaknya masih diperlukan usaha untuk membangun masyarakat yang melek IT. Pelatihan-pelatihan yang mudah, efektif dan murah/gratis seputar IT harus terus diselenggarakan termasuk pengenalan "netiket". Lewat berbagai media, sekolah dan obrolan akan sangat membantu mewujudkan hal tersebut. Disisi lain juga sangat diperlukan penerapan kebijakan dan aturan yang tepat oleh Pemerintah dalam mencegah penyalahgunaan fasilitas dan teknologi ini untuk tindakan kejahatan.

Faktor lain yang menurut saya tidak kalah penting adalah penyediaan content/data dan pembangunan komunitas cyber (komunitas masyarakat secara online) didalamnya. Bahkan saya kira faktor ini yang akan menentukan keberhasilan Solo Cyber City nantinya karena data non fisik (content) inilah yang akan dilihat, dibaca, didengar, ditonton, diserap, dipikirkan, dipelajari dan bakal membuat perubahan bagi masyarakat itu sendiri.

Kemajuan dan perkembangan cybercity sangat dipengaruhi antusiasme masyarakat bukan hanya ketika mengakses data tetapi juga saat menyediakan dan membuat content yang berkualitas dan tepat sasaran. Riilnya diperlukan content yang bercerita dan membicarakan seputar Kota Solo beserta masyarakatnya sehingga pemanfaatan teknologi ini akan lebih mengena bagi kota ini. Memang diperlukan SDM yang mampu membuat content bermutu dan mengena.

Bagi kemajuan daerah, keberadaan komunitas cyber juga dapat menjadi jembatan antara pemerintah dengan masyarakat untuk berdialog. Alangkah indahnya jika pejabat/tokoh dan para pemimpin kota ini ikut ambil bagian dalam memberikan wacana bahkan terlibat dalam diskusi-diskusi aktif yang membahas seputar kota ini agar aspirasi dari masyarakat dapat tersalurkan secara langsung dan terbuka.

Saya berharap cybercity bukan hanya sebuah nama atau istilah yang hanya nge-trend sesaat saja tetapi hendaknya menjadi komitmen bersama untuk mewujudkannya sekarang!

Senin, 21 Juli 2008

Being Digital, Solo Yellow Map dan Newspaper is Dead

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



Hidup digerogoti parasit. Ulat besar dan putih itu kami sebut sebagai gendon. Saya mengenalnya ketika duduk di bangku sekolah dasar. Bentuknya lemu ginuk-ginuk, dalam istilah bahasa Jawa. Gemuk, bulat, menggemaskan. Ia hidup di pangkal pohon turi. Saya tidak tahu bila ia bermetamorfosa akan menjadi kupu-kupu jenis yang mana. Atau jenis binatang lainnya, saya juga tidak tahu.

Binatang gendon itu sering mengingatkan saya akan media mainstream (MSM) saat ini. Wujudnya yang gemuk, lamban dan kaya gizi itu sering tidak mereka sadari bahwa dirinya rentan terancam menjadi medan bancakan, penjarahan sekaligus pesta pora, oleh para parasit yang menunggangi sarana komunikasi dunia digital.

Lebah atau serangga-serangga digital, katakanlah kita umpamakan begitu, kini nampak beramai-ramai memasukkan sengat berisi telur-telur spesiesnya sendiri ke tubuh gendon bersangkutan. Ketika telur-telur itu menetas, maka makhluk-makhluk baru itu akan menggerogoti tubuh sang gendon untuk menjadi makanan mereka. Sang gendon tersebut, tentu saja, lama kelamaan akan mati akhirnya.

Tamsil tentang gendon ini saya emailkan ke Kukrit Suryo Wicaksono, managing director Suara Merdeka Group. Juga saya “cc”-kan ke Adi Ekopriyono, Assistant Director Suara Merdeka Group. Saya kirimkan tanggal 17 Juni 2008 yang lalu. Petikannya di bawah ini.


Ancaman erosi atensi. Yth. Mas Kukrit Suryo Wicaksono, Managing Director Suara Merdeka Group. Dengan hormat dan salam sejahtera. Semoga SM Group senantiasa sukses, termasuk dengan peluncuran media Lintang dan pengayaan situs web Suara Merdeka.com. Sebagai orang luar dan pembaca Suara Merdeka, saya minta ijin untuk mengajukan usulan kecil : seputar manajemen email para wartawan dan kontributor di Suara Merdeka.

Saya mencatat, dari kolomnya Butet, halaman Sehat di edisi Minggu (ada 3 dokter), kolom TI Ridwan Sanjaya, lalu kolom pembahasan tentang iklan Mas Adhy Trisnanto, rubrik bimbingan penulisan kreatif, halaman teknologi sampai wacana, sampai beberapa individu wartawan ketika menulis (termasuk mencantumkan alamat situs blog pribadinya), masing-masing memiliki alamat email yang berbeda-beda.

Pikir saya, mengapa Suara Merdeka tidak menentukan agar mereka memiliki domain yang sama, yaitu (seperti email mas Kukrit) : suaramerdeka.com ? Sehingga juga mempromosikan entitas Suara Merdeka, bukan ?

Menurut saya, karena media digital itu interaktif, maka penggunaan email yang beragam itu ibarat memecah belah atensi pembaca/pendukung artikel/kolom bersangkutan, sehingga mengancam terjadinya erosi atensi mereka terhadap media yang menjadi wadahnya.

Atensi yang berharga itu (“the hard currency of cyberspace is attention,” kata Gerard Van der Leun dan Thomas Mandel dalam bukunya Rules of The Net) yang sebaiknya harus menjadi milik Suara Merdeka, tetapi saat ini sebagian besarnya justru Anda perbolehkan untuk “dirampok” oleh para kolumnis tersebut. Di media manca negara, wartawan yang mengelola blog diberi alternatif : menghentikan blognya atau dipersilakan keluar !

Padahal, dengan sedikit trik yang kreatif dan inovatif, kolom-kolom menarik itu dapat menjadi awal suatu pasar diskusi yang lebih hidup, dengan pendekatan ala wikipedia dan amazon.com, yaitu user-generated content, sehingga bermanfaat bagi pembaca/peselancar dan juga bagi bisnis Suara Merdeka sendiri di media maya.

Terakhir, usul-usil : mbok Bapak Mas Soesiswo (penjaga kolom Surat Pembaca –BH) itu disertai asisten yang faham menggunakan email. Sebagai seorang epistoholik/penulis surat pembaca (blog saya Esai Epistoholica : http://esaiei.blogspot.com), kalau saya kirim surat pembaca via email engga pernah ada kabarnya. Kalau lewat pak pos alias snail mail, selain jadi lebih mahal, juga lebih lama sampainya dan isinya menjadi tidak aktual lagi. Semoga usul-usil ini ada manfaatnya. Sukses selalu.


Hik dan hotspot. Dari mengobrolkan media Semarang, kita berpindah topik ke media asal Solo. Tanggal 12 Juli kita kenal sebagai Hari Koperasi, bukan ? Lalu Anda mudah ingat akan Bung Hatta ? Bagi diri saya pribadi, tanggal itu punya sejarah lain.

Sebagai Hari Suporter Nasional (HSN). Tahun ini adalah sewindu HSN yang idenya saya cetuskan di tengah acara pertemuan kelompok besar suporter sepakbola Indonesia di kantor Tabloid BOLA, Jakarta. Mereka adalah Aremania (Malang), The Jakmania (Jakarta), Pasoepati (Solo) dan Viking (Bandung).

Memperingati tanggal itu, sambil berefleksi mengenai karut-marut dunia sepakbola Indonesia mutakhir, kami menggelar demo di perempatan Gladag Solo. Pendukungnya adalah Mayor Haristanto, pendiri Pasoepati dan Presiden Republik Aeng Aeng, saya sendiri, Is Haryanto dan Agus dari OI Bento House Solo, dan relawan lainnya.

Malamnya, saya ikut menikmati malam-malam digital di City Walk Solo. Saat itu Republik Aeng Aeng (RAA) yang punya kegiatan. Sebagai pelaksana acara Aksi Cetak Rekor MURI Gaya Solo : Browsing Internet @ City Walk (30 Juli 2008), malam itu RAA dengan mitra kerjanya yaitu Pemkot Solo, Apkomindo Surakarta, Speedy, Solo IT Expo 2008 dan harian Solopos, melakukan uji coba akses Internet tanpa kabel. Acara puncaknya akan terjadi tanggal 30 Juli nanti, sekaligus meluncurkan deklarasi sebagai Solo Cyberholic Day.

Sekitar 30-an netter hadir malam itu. Saya dan keponakan saya, Lintang Rembulan (yang ketua OSIS SMA St. Yosef Solo, pemain biola, tulisannya pernah dimuat di Kompas, dan karya film bersama rekan-rekannya masuk final sebuah kontes film di Jakarta), nongkrong di sekitar kedai hik yang disediakan panitia. Secara bercanda, saya memberi label hik and hotspot sebagai tag kegiatan malam itu.

Inilah potretnya : sambil mengganyang tempe benguk sampai jadah bakar dan menyeruput wedang jahe, saya mencandai Lintang dan Nani Mayor, mamanya. Bahwa walau pun kita saat itu saling berdekatan dan meminum wedang jahe dari kedai hik yang sama, tetapi urusan di depan laptop yang tersambung ke dunia maya tidaklah sama antara kita berdua. Demikian juga dengan para peselancar lainnya yang berhimpun di tempat yang sama.

Sungguh benar kiranya pendapat sejarawan dan pustakawan dari Library of Congress Daniel Boorstin. Ia pernah bilang, teknologi senantiasa mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Tetapi “seperti laiknya tuntutan alam, era digital tidak dapat dihentikan. Keunggulannya karena memiliki empat daya dahsyat yang mengantarkannya ke puncak kemenangan : desentralisasi, globalisasi, harmonisasi dan memberdayakan,” timpal “nabi digital” dari MIT, Nicholas Negroponte, dalam buku terkenalnya, Being Digital (1995).

Being Digital adalah buku tentang teknologi informasi yang mampu membuat saya menangis. Saya bangga menceritakan hal yang sama, dan berkali-kali. Menangis karena optimisme yang dijanjikan oleh penulisnya mengenai masa depan menawan ketika kehidupan umat manusia berbasis teknologi digital.

Sebuah ilustrasi tentang globalisasi sempat mencuat di city walk Solo malam itu. Di seberang saya nampak asyik berselancar dan berbagi cerita, Dwi Haryanto, bos Speedy Solo. Suatu saat ia membuka situs Google Earth, menemukan kota Solo, lalu melakukan penjelajahan dari pandangan mata burung.

Disamping dirinya duduk Wakil Walikota Solo, FX Hadi Rudyatmo. Juga Andoko, Ketua Apkomindo Surakarta. Ketika saya ikut nimbrung, saya mengusulkan untuk mencoba menemukan rumah Pak Rudy yang berada di kawasan Pucangsawit itu. Klik dan klik dalam perburuan lokasi itu pun lalu dimulai.


Bisnis digital yang lokal. Situs Google Earth itu memang eksotis. Melihat foto genteng dan hamparan halaman belakang, juga bercak pepohonan yang ada di rumah sendiri, di Kajen Wonogiri, membuahkan sensasi tersendiri. Perasaan itu jelas sulit muncul ketika kita melihat peta kota atau daerah yang biasa. Baik peta yang tercetak di kertas atau pun yang terpajang di media digital. Untuk yang terakhir ini, silakan coba klik www.soloyellowmap.com.

Halaman kuning dalam buku telepon yang kita kenal selama ini nampaknya oleh sebagian netpreneur Solo diupayakan bermigrasi dalam bentuk media digital. Untuk dikeduk peluang-peluang bisnis yang ada. Usaha yang dilakukan oleh SoloNet Solo itu pantas mendapatkan apresiasi.

Tetapi untuk kota yang “sekecil” Solo ini, dimana ketika kita bertanya tentang sesuatu lokasi kepada tukang becak atau penduduk setempat sudah mudah dalam memperoleh jawaban, bukankah peta digital ini masih merupakan hal yang redundant, cenderung berkelebihan ? Atau malah salah sasaran.

Mungkin, gumam saya, ini proyek yang futuristik. Berjangkauan jauh ke masa depan, dengan membayangkan berpuluh tahun kemudian ketika Solo sudah menjadi sebesar kota London, misalnya. Di Wonogiri, sekadar cerita, saya pernah mendapatkan hadiah dari teman dekat saya saat itu, yaitu dua map kotanya.

Satu berjudul M25 Main Road London dan London AZ New Edition 2006. Dengan panduan buku peta ini, secara mudah saya menemukan daerah Bromley, London Tenggara, rumahnya. Versi digital dari buku peta ini dapat diakses pada situs : www.a-zmaps.co.uk.

Halaman kuning Solo versi digital itu, tentu memiliki kelenturan dan kelebihan yang menantang untuk dieksplorasi dibandingkan media berbasis kertas. Sebagaimana bunyi selebarannya, situs Solo Yellow Map dicita-citakan akan mampu menampung pelbagai jenis usaha di Solo. Setiap kegiatan usaha di Solo nantinya akan memiliki instant website masing-masing. Baik yang gratisan dengan isi ringkas atau berbayar dengan isi situs lebih komprehensif. Mungkin mirip layanannya dengan situs Tokobagus.com atau Indonetwork.co.id.

Inovasi itulah yang memicu saya mengirimkan email ke Ricky B. Hartono, SH. MH., Direktur Utama Solo Jala Buana (SoloNet), kreator situs Solo Yellow Map itu, tanggal 16 Juni 2008 yang lalu. Antara lain telah saya tulis : Maaf, menurut saya saat ini Solo Yellow Map/SYM itu masih ibarat sebagai “jalan yang sepi.” Fasilitas jalan itu bagus, mulus, di kiri kanan banyak toko, yang kesemuanya mudah ditemukan melalui mesin pencari yang ada. Tetapi tetap “sepi.”

Maksud saya, situs itu hanya berpeluang menarik dikunjungi oleh mereka yang HANYA butuh penunjuk jalan, dan bagi wong Solo sendiri hal itu adalah hal yang redundant. Engga terlalu diperlukan. Karena Solo adalah kota kecil membuat peta-peta di SYM menjadi trivia. Remeh-temeh. Situs ini jadinya mungkin lebih berguna bagi orang luar Solo, dan karena hal itulah menjadi agak “sulit” untuk di-generate sebagai suatu peluang bisnis.

(Menurut saya) Agar situs SYM menjadi lebih hidup, tinggi traffic-nya, berguna dan tidak menjadi situs yang sepi dikunjungi oleh warga Solo sendiri, maka harus dilakukan pelbagai inovasi. Idenya bagaimana mengundang warga Solo sendiri untuk getol mengunjungi situs SYM dengan pendekatan Web 2.0. a la Wikipedia atau amazon.com. Yaitu, membuat situs SYM kaya dengan isi yang justru dibuat oleh para pengunjung itu sendiri, user generated content (USG) dengan pelbagai derivatifnya.


Rumah hantu maya. Ide USG di atas adalah upaya untuk memecahkan masalah, betapa situs di internet senantiasa kesulitan men-generate lalu lintas pengunjung yang ramai di situs bersangkutan. Terutama bagi siapa saja yang ingin berniaga di dunia maya.

Majalah Harvard Business Review (November/Desember 1996) pernah menyajikan diskusi bertopik The Future of Interactive Marketing. Salah satu tulisan yang menarik adalah dari Martin Levin, petinggi Microsoft. Intinya ia membedakan eksekusi antara corporate website, situs perusahaan dengan marketing website, situs pemasaran.

Situs web perusahaan tugasnya mengelola komunikasi yang asal-muasalnya diprakarsai oleh konsumen. Ibarat layanan telepon bebas pulsa 0-800, yang menjawab semua kebutuhan informasi yang diajukan konsumen. Sementara itu situs web pemasaran harus tampil lebih agresif dalam upaya membujuk dan merangkul konsumen. Selain untuk membangun dialog di mana tujuan akhirnya adalah membidik terjadinya transaksi. Situs web pemasaran ini diprakarsai oleh pemasar.

Eksekusi situs pemasaran ini menghadapi kendala serius. Karena situs ini diharapkan mampu menarik konsumen, maka situs bersangkutan harus dieksekusi sebagaimana sebuah penerbitan. Misalnya dalam menyambut tahun ajaran Baru, Bulan Puasa, Hari Lebaran, Hari Natal sampai Tahun Baru, situs bersangkutan harus memiliki kandungan isi dan desain yang sesuai dengan tren atau pun musim. Sungguh suatu beban tugas yang tidak ringan untuk situs perusahaan yang besar sekali pun. Karena mereka harus hadir pula sebagai suatu perusahaan media yang juga besar adanya !

Mungkin saya keliru, tetapi pendekatan model situs pemasaran itu belum muncul dalam tampilan situs SYM tersebut. Saya tulis dalam email saya yang kedua, “Di Suara Merdeka, seorang pakar periklanan, Mas Adhy Trisnanto, antara lain bilang bahwa iklan-iklan baris (classified) di koran-koran itu tidak inovatif.

Iklan-iklan itu,menurutnya, selama ini hanya dieksekusi untuk hanya menarik bagi mereka yang kebetulan membutuhkan produk/jasa yang diiklankan. Sedang mereka yang tidak butuh barang/jasa, tidak akan tertarik membaca-baca iklan baris tersebut.

Mungkin, maaf, hal tersebut nanti juga identik terjadi di SYM pula. Karena SYM hanya menarik untuk dikunjungi oleh mereka yang punya kaitan langsung dengan beragam bisnis yang mejeng di SYM. Akibatnya yang terjadi, bila memperhitungkan berapa banyak populasi warga Solo yang sudah melek Internet apalagi tertarik melakukan transaksi online, mungkin SYM terancam hanya menjadi Solo Virtual City yang sepi. Berapa banyak kunjungan (hits) sejak SYM diluncurkan ?

Moga diskusi dan usil-usil saya ini dapat Pak Ricky anggap sebagai pendorong untuk kemajuan SYM di masa depan SYM. Dengan mengambil ibarat SYM sebagai arena citywalk (srawung warga) Solo, kini area itu (bagi saya) masih sangat sepi pula. Sehingga kiranya menjadi tantangan bagi Pak Ricky dan kru, mampukan Anda mengadakan event hura-hura secara kontinyu di citywalk maya Anda, sehingga mampu men-drive hadirnya banyak peselancar untuk hadir di situs SYM itu ?

Misalnya : kalau sebentar lagi konon Raja Solo Paku Buwono Tejowulan mau mengadakan pesta perkawinan agung bagi putrinya, juga mau ada kirab melewati rute jalan tertentu di Solo, bisakah event itu Anda olah menjadi program SYM hingga menjadi daya tarik bagi wong Solo, juga luar Solo, untuk membanjiri “Solo Virtual City” Anda ?

Contoh lain : kalau di Jl. Kalitan dan jalanan lain di Solo banyak temboknya dikotori dengan graffiti, corat-coret (hal serupa juga terjadi di Wonogiri dan saya tulis di URL ini : http://wonogirinews24.blogspot.com/2008/02/ancaman-di-balik-wabah-grafiti-di.html), dapatkah para seniman jalanan Solo itu bisa Anda ajak membuat graffiti di SYM saja ? Sehingga jalanan Solo menjadi lebih bersih ?

Tantangan (bagi situs) untuk bisa tersaji menarik sehingga dibanjiri peselancar adalah tantangan universal bagi situs web mana pun juga. Repotnya, situs yang dikunjungi jutaan peselancar pun, masih juga kerepotan berat untuk menghasilkan pemasukan.

Saya sertakan URL artikel mutakhir mengenai perjuangan situs MySpace dalam upaya mampu menghasilkan pemasukan. Ditulis oleh Brian Stelter di situs The New York Times (16 Juni 2008) : http://www.nytimes.com/2008/06/16/business/media/16myspace.html?_r=2&ref=business&oref=slogin&oref=slogin

Begitulah Pak Ricky, usul-usil lanjutan saya. Masih ada beberapa gagasan saya, tetapi dengan mempertimbangkan hal itu sebagai semacam hak karya intelektual, maka gagasan tersebut belum bisa saya ungkapkan di email ini. Walau pun demikian, semoga obrolan ini ada manfaatnya. Sukses untuk Anda, SoloNet dan Solo Yellow Map.”


Koran di lampu merah. Situs semacam Solo Yellow Map tersebut, bila kelak mampu dikelola dengan track yang benar, mampukah membunyikan bunyi alarm, tanda bahaya, bagi pengelola media massa utama, alias koran-koran dan media lama lainnya ?

Alarm itu memang ada yang mendengarkan. Bahkan mau memperbincangkannya. Adalah seorang Azrul Ananda, bos muda Jawa Pos Group, dalam rangka memperingati 59 Tahun koran Jawa Pos telah menulis kolom dengan judul “Newspaper is Dead” dan “Life Will Find a Way” (Jawa Pos, 1-2/7/2008).

Salah satu poin menarik tentang masa depan koran yang suram dengan mengambil contoh dirinya sendiri : yang baca online dua jam, baca koran 20 menit. “Saya baca majalah Fortune edisi baru-baru ini. Marc Andreessen, salah satu pendiri Netscape yang juga pebisnis media (online, tentunya!), punya rencana besar seandainya memiliki koran sebesar New York Times.

Dia bilang akan mematikan ’’koran fisik’’ itu sesegera mungkin, pindah penuh ke online. ’’Lebih baik merasakan sakit parah sekarang daripada bertahun-tahun kesakitan,’’ ucapnya. Dia juga menyinggung, sangat sulit bagi New York Times untuk mengamankan masa depan, karena jajaran direksinya gaptek. ’’Ada yang pakar binatang, ada yang pakar makanan. Tapi, tak ada yang mengerti internet,’’ katanya.

Kemudian Azrul Ananda mencontohkan seorang artis Madonna yang senantiasa mampu memperbarui diri, reinventing, sebagai teladan bagi koran-koran dalam menapaki masa depan.

“Di dunia media, koran tergolong yang paling kuno…Tapi koran telah selamat berkali-kali dari krisis harga kertas dan ancaman media format lain. Mungkin, dengan kerja keras dan energi muda, koran masih bisa selamat, minimal sekali lagi. Life will find a way,” tulis penutupnya.

Koran mungkin masih bisa selamat. Pada tanggal 3 Juli 2008 saya telah mengirim email ke Jawa Pos terkait tulisan Azrul Ananda yang putra Dahlan Iskan itu.

Salam sejahtera. Membaca dua seri tulisan Anda di Jawapos (1-2/7/08) berjudul “Newspaper is dead” dan “Life Will Find a Way,” saya merasa seperti di tengah masa Lebaran. Dan halal bihalal. Karena disana bertabur kata-kata permintaan maaf dari Anda untuk para orang-orang koran (juga PSSI) yang sudah tua-tua.

Orang-orang koran adalah orang-orang tua. Saya pernah ikut diskusi seputar koran di Solo, diadakan oleh Harian Suara Merdeka Semarang. Opini yang dominan disitu adalah opini-opini lama mengenai usul-usul mengubah content, tetapi sama sekali tidak menyinggung context. Kesan-kesan saya tentang acara itu lalu saya tulis dalam surat pembaca (saya pendiri Epistoholik Indonesia, komunitas penulis surat pembaca, bisa di klik di http://episto.blogspot.com dan http://esaiei.blogspot.com ).

Buntut dari surat pembaca itu saya diundang oleh Managing Director Suara Merdeka Group, Kukrit Suryo Wicaksono, ke Semarang. Saat itu ia membeberkan tabel-tabel dari kajian Nielsen mengenai makin surutnya pembaca surat kabar di kota-kota Asia dibanding audiens untuk TV dan Internet. Saat itu saya mengusulkan agar Suara Merdeka terbit secara gratisan. Saya lalu tunjukkan contoh koran yang saya bawa, yang terbit gratisan, yaitu The London Paper dan London Lite.

Mungkin karena usulan itu maka diskusi antara kita menjadi cepat berakhir. Saya memaklumi hal itu. Karena memang koran merupakan zona nyaman (comfort zone) bagi orang-orang koran. Mereka akan menjaga hal itu sebagai sapi keramat bisnis mereka. Karena dengan produk cetak itu mereka sudah fasih dalam cara-cara memperoleh uang, monetizing, demi hidup mereka. Mereka pun sekarang masih bingung, juga takut-takut, mengeksplorasi wilayah-wilayah yang baru.

Tetapi seperti yang Anda tulis, sapi keramat itu akan tergerus dan akan menjadi kurus. Menurut saya, orang-orang koran selama ini terlalu berambisi untuk membuat siapa saja agar menjadi pembacanya, walau senyatanya, sampai kapan pun, persentase para pembaca itu jauh lebih kecil dibanding populasi yang ada.

Maka seperti Anda mencontohkan pada diri seorang Madonna, maka koran pun harus berubah dan berubah. Ada istilah agar koran berubah menjadi utilitas informasi dan hubungan bagi masyarakat, yang layanannya tidak hanya terbatas kepada pembaca dan pemasang iklan belaka (rumus triangle media) seperti lajimnya selama ini.

Sebagai pembaca 4-5 koran di perpustakaan umum Wonogiri, sehingga jarang membeli karena kemahalan dan tidak efisien bagi minat saya, saya tunggu pergulatan Jawapos dan koran-koran lainnya dalam mengarungi 5 tahun ke depan. Untuk ikut urun rembug mengenai masa depan koran, di bawah ini saya sertakan surat-surat pembaca yang pernah saya tulis seputar topik bersangkutan. Semoga bermanfaat. Terima kasih untuk perhatian Anda.


Bambang Haryanto


PS : Kapan kita membuat gerakan untuk menggusur tokoh-tokoh tua di PSSI itu ? Saya telah ikut berbagi pikiran mengenai orientasi mereka yang menjadikan sepakbola Indonesia hanya sebagai ajang bisnis sekelompok kecil mereka dan bukan untuk prestasi di blog Suporter Indonesia di : : http://suporter.blogspot.com/2007_12_01_archive.html#8505612158633538660



SM di Laut Merah
Harian Suara Merdeka, Selasa, 6 November 2007


Saya diajak Mayor Haristanto, Presiden Republik Aeng-Aeng, mengikuti acara sumbang saran (brainstorming) bertopik pengembangan penetrasi harian Suara Merdeka ini di Solo. Kita tahu, Suara Merdeka pernah berjaya di Solo dan kini bertekad hendak merebut kuenya terdahulu yang belakangan tergerus oleh pesaing baru mereka.

Sebagai seorang epistoholik, dalam acara itu saya protes karena kolom surat pembaca yang dulu di halaman 6 kini “dionclang” ke halaman 22. Padahal menurut saya, dalam wacana jurnalisme warga (citizen journalism), kolom itu idealnya harus berada di halaman pertama !

Hal menarik lain, sebagian besar peserta acara itu generasi di atas 40-an. Pembaca koran kelompok jadul, jaman dulu. Sehingga tak ayal, sebagian besar saran mereka berputar-putar seputar perbaikan isi (content) dan tidak menyinggung-nyinggung konteks (context).

Saran mereka itu membuat saya terpana dan mengingatkan saya akan tesis tentang red ocean strategy? (strategi laut merah) vs blue ocean strategy (strategi laut biru) dari W. Chan Kim dan Renée Mauborgne (Harvard Business School Press, 2005). Menurut saya, para pengusul itu ibaratnya menceburkan Suara Merdeka ke tengah laut merah, lautan di mana pasar sudah mendekati jenuh, terjadi kompetisi ketat, karena banyak sekali penerbitan yang serupa memperebutkan pasar yang sama pula.

Apalagi di tengah perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang cepat dan berubah-ubah, koran kini ibaratnya bukan lagi sebagai matahari sebagai pusat edar bumi kita ini. Koran kini hanya sebagai salah satu planet di mana matahari sebagai pusat edar gerakan benda-benda angkasa adalah para konsumen informasi. Koran kini harus bersaing mati-matian melawan empat layar media lainnya, sejak layar bioskop, televisi, komputer (internet) dan yang terbaru layar telepon genggam.

Fenomena mutakhir, hadirnya layanan berita seketika melalui telepon genggam seperti yang baru-baru ini diluncurkan oleh kelompok Kompas, Langlang, adalah pertarungan konteks. Dengan mengusung blue ocean strategy (strategi laut biru)-nya Kim dan Mauborgne di atas, karena belum ada preseden sebelumnya, Langlang tersebut berpotensi membuat koran-koran yang baru bisa menyalurkan informasinya ke pembaca pada keesokan hari terancam menjadi tidak relevan. Termasuk bagi Kompasnya sendiri, karena penerapan teknologi baru selalu tersimpan potensi dahsyat terjadinya kanibalisasi.

Persaingan koran di Solo, juga di bagian mana pun di dunia, kini tak bakal bisa dimenangkan hanya dengan mengutak-utik isi belaka. Gary Hammel dalam bukunya Leading the Revolution (Harvard Business School Press, 2000) menandaskan, perang bisnis masa depan berada di medan konteks dan bukan pada isi. Bukan pada produk, tetapi pada model bisnis.

Bagi saya, sungguh menarik mengikuti apa yang akan terjadi dalam perang koran di Solo dan di Indonesia pada masa-masa mendatang ini. Sebagai penulis surat pembaca, saya akan mendukung media yang mampu menampung kiprah dan aspirasi mazhab jurnalisme warga yang embrio aksinya telah lama dipraktekkan jauh-jauh hari oleh kaum epistoholik selama ini, yang mencita-citakan demokratisasi media sehingga bermanfaat maksimal bagi semua.


Bambang Haryanto
(EI/081329306300)
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612
Email : humorliner (at) yahoo.com


Angket dan Sup Batu
Harian Suara Merdeka, Kamis, 29 November 2007 : L.

Mencermati Angket Pembaca 2007 Suara Merdeka, saya teringat dongeng sup batu. Dikisahkan, seseorang sedang menyalakan tungku di tengah lapangan. Di atas tungku ditaruh gentong berisi air dan ia masukkan sebungkah batu. Ia pun dengan riang mengaduk-aduknya.

Aksinya itu menarik perhatian orang untuk datang dan bertanya-tanya. Si orang pertama itu berkata, ia sedang memasak sup yang lezat. Tetapi ia kekurangan garam. Orang kedua yang datang segera pulang, ambil garam, dan kembali ke lapangan untuk memasukkannya ke gentong.

Orang-orang berikutnya berlaku pula demikian. Ada yang menyumbangkan irisan daun bawang, kaldu, merica, daging, bumbu penyedap dan mereka bergantian mengaduknya. Akhirnya, memang tersaji masakan sup yang lezat dan semua orang dapat secara adil menikmatinya secara bersama-sama.

Dongeng sup batu itu di era Internet sering dipakai untuk menggambarkan resep suksesnya toko buku online Amazon.com sampai ensiklopedi online Wikipedia. Kedua bisnis itu mengandalkan partisipasi massa penggunanya, bukan kalangan ahli, dalam menghimpun dan menyajikan isi situsnya. Istilah kerennya : user generated content. (UGC). Strategi ini kini lajim diaplikasikan dalam pelbagai strategi bisnis di Internet.

Lalu apa kaitannya sop batu, UGC dan Suara Merdeka ? Dalam pertemuan saya dengan Mas Kukrit Suryo Wicaksono, Managing Director Suara Merdeka Group (8/11), saya agak protes karena keberadaan media maya Suara Merdeka tidak masuk dalam angket. Dan sebagai pendiri komunitas Epistoholik Indonesia (EI), saya juga heran berat mengapa kolom surat pembaca tidak ditonjolkan secara signifikan dalam angket yang sama.

Padahal menurut saya sembari merujuk kesimpulan World Editors Forum (WEF) 2007, situs web media dan eksistensi kolom surat pembaca merupakan cikal bakal manifestasi filosofi UGC, user generated content. Inilah gerbang utama semua media mainstream, termasuk Suara Merdeka, dalam melangkah menuju masa depan.

Bambang Haryanto (EI/081329306300)
Jl. Kajen Timur 72
Wonogiri 57612


Koran Masa Depan
Harian Suara Merdeka, Senin, 3 Desember 2007 : L

Sebagai seorang epistoholik, saya menulis surat pembaca yang pertama kali di Suara Merdeka. Tahun 1973 atau 1975. Tetapi baru 32 atau 34 tahun kemudian saya pertama kali bisa mengunjungi kantornya, di Jl. Pandanaran 30, Semarang. Yang segera menarik perhatian saya adalah kehadiran papan baca koran di depan kantor itu, yang ramai dikerubungi pembaca.

Mengingatkan saya ketika masa kecil di Yogyakarta, bahwa untuk bisa mengikuti cerita bersambung kisah Nagasasra-Sabukinten dari koran setempat, saya rajin membacanya juga melalui papan baca.

Berhubung saya hadir ke kantor Suara Merdeka (8/11/2007) itu atas undangan Mas Kukrit, saya mudah ingat pidatonya setahun yang lalu saat ia menandatangani kerjasama antara Suara Merdeka Group dengan Pemkot Semarang berupa penyediaan papan baca di 177 kelurahan se-Kota Semarang (24/11/2006). Setiap pagi, di papan itu akan ditempelkan koran Suara Merdeka dan sore harinya diganti dengan Wawasan.

Dengan kerja sama itu, Kukrit berharap warga Semarang kian terbiasa dengan berita dan informasi. Sebagai timbal baliknya, mereka bisa menyampaikan kritik atas pemberitaan yang disampaikan. Sekiranya ada pemberitaan di Suara Merdeka yang kurang pas, kurang menggigit, atau dipandang salah, warga bisa menyampaikannya untuk perbaikan.

''Panjenengan semua adalah 'pemegang saham' terbesar kami. Mohon disampaikan langsung masukan dan kritik itu sehingga kami bisa hadir seperti yang Anda harapkan, seperti yang Anda inginkan,'' tandasnya.

Bagi saya, papan-papan baca itulah prototip koran masa depan. Koran sebagai entitas bisnis, menurut Gary Hamel dari London Business School, harus seperti amuba, membelah-belah diri, bahkan hingga mampu memuaskan pembaca secara individual.

Semua itu mampu mendekati kenyataan bila yang mengisi koran di papan-papan baca itu justru warga setempat. Tiap papan baca akan berbeda isinya dengan papan baca di kelurahan lain. Bahasa kerennya, isinya hyper-local, dan itulah tren koran dunia atau pun situs informasi di masa depan.

Bambang Haryanto (EI/081329306300)
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612


Koran Gratisan
Harian Suara Merdeka, Jumat, 7 Desember 2007 : M

Teman dekat saya membawa oleh-oleh yang saya harapkan. Yaitu koran gratisan yang terbit di kota tempat tinggalnya. Koran berbentuk tabloid itu bernama The London Lite dan The London Paper. Keduanya terbitan sore hari, sayang saya tidak memperoleh Metro, yang terbit tiap pagi.

Kedua koran sore gratis ini di masa-masa awal konon dicetak sekitar 400.000 eksemplar setiap harinya. Bila bisa dijamin seperempat saja yang setiap hari ada yang membacanya, jelas pemasang iklan tidak keberatan menghabiskan ongkos iklan ke koran bersangkutan. Artinya koran tetap gratis tapi keuntungan mengalir. Dan memang begitulah tren di beberapa tempat dunia.

Harian pagi gratis Metro di London, misalnya, kini sudah menyebar ke beberapa kota lain, di Manchester dan setiap harinya mencapai oplag sekitar 1,9 juta, lebih tinggi dari koran-koran ternama Inggris seperti The Times atau The Guardian, yang masih harus dibeli. Harian gratis Metro kini juga terbit di beberapa tempat lain di daratan Eropa, dan kemudian memicu lahirnya koran-koran gratis lainnya.

Di Kopenhagen, ibukota Denmark, sejak 2006 telah terbit 5 koran gratis. Sehingga memunculkan guyonan, penduduk Kopenhagen sulit bekerja karena semua orang berebutan memberi surat kabar kepada mereka. Dampak positifnya, kalau koran-koran tradisional kesulitan merekrut pembaca-pembaca muda, maka koran gratisan senantiasa memiliki pembaca yang lebih muda.

Jadi apakah kelak koran di masa depan akan gratis semua? Entahlah. Tapi saya sendiri tak sabar menunggu koran Suara Merdeka ini dibagikan gratis untuk kita, para pembacanya !


Bambang Haryanto (EI/081329306300)
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612


Apa balasannya ? Mas Adi Ekopriyono membalas ( 16/6/08) : “Matur nuwun masukannya Mas. Akan saya teruskan ke teman-teman.” Sementara Mas Kukrit melalui BlackBerry menulis agak lebih panjang : “Mas bambang, terima kasih sekali atas semua sarannya, sy sangat terharu atas segala perhatian yg mas berikan untuk kemajuan SM, dlm wkt dkt saya akan coba implementasikan ide2 mas tsb.”

Sementara itu Ricky B. Hartono membalas email pertama saya dengan menceritakan (mengulangi) isi selebaran Solo Yellow Map. Ia mencita-citakan situsnya secara menarik, antara lain : “Masyarakat tidak hanya mendapatkan penunjuk jalan, namun dapat mencari segala macam informasi di kota Solo dari A sampai Z. Bahkan masyarakat dapat melakukan transaksi online melalui Solo Yellow Map: pembelian buku online, booking kamar hotel sekaligus melihat gambar & lokasi kamar yang akan dipesan, beli rumah atau kendaraan secara online, dan sebagainya,” tulisnya. Email saya yang kedua, tidak ada balasannya. Sementara itu dari Azrul Ananda/Jawa Pos, tidak ada kabar sama sekali.Terima kasih.


Wonogiri, 21 Juli 2008

ee

Kamis, 17 Juli 2008

Cyber-Revolution di Trotoir Solo : Uji Coba Browsing Internet @ City Walk Solo

Sabtu, 12 Juli 2008, Jam 18.00 – 24.00. Kawasan Srawung Warga/City Walk, Solo. Visi menjadikan Solo sebagai cyber city tahun 2010 telah dimulai letupan revolusinya di kawasan pedestrian, City Walk Solo, 12 Juli 2008. Malam itu telah dilakukan uji coba akses Internet tanpa kabel yang difasilitasi oleh Telkom Speedy Solo, bekerjasama dengan Solo IT Expo 2008, Apkomindo Surakarta, Pemkot Solo, harian Solopos, dan diorganisasikan oleh Republik Aeng Aeng.

Sekitar 50 peserta telah hadir. Ada yang lesehan, menumpang pada becak yang parkir, atau duduk di sekitar kedai hik yang disediakan panitia. Hik dan hotspot, menjadi tema gathering informal itu, paduan antara mengganyang jadah bakar, menyeruput wedang jahe, sambil mengembara di dunia maya. “Syukurlah, acara berlangsung lancar,” kata Dwi Heryanto dari Telkom Solo.

Kelancaran acara malam itu menjadi modal untuk perhelatan yang sebenarnya, nanti pada tanggal 30 Juli 2008. Yaitu acara bertajuk Aksi Cetak Rekor MURI Gaya Solo : Browsing Internet @ City Walk. Berhadiah 2 laptop dan ratusan hadiah lainnya. Pada tanggal yang sama oleh Republik Aeng Aeng akan diluncurkan proklamasi penetapan tanggal 30 Juli sebagai Solo Cyberholic Day. Liputan fotonya sebagai berikut :

Photobucket

Mimpi dan virus. Mayor Haristanto sedang menceritakan mimpinya untuk menyebarkan virus manfaat Internet sebagai tulang punggung kemajuan Solo di masa depan. Ia sedang diwawancarai reporter TATV Solo.

Photobucket

Mencari rumah dari peta satelit. Wakil Walikota Solo, FX Hadi Rudiyatmo, menyempatkan hadir di tengah para netter Solo. Nampak General Manager PT Telkom Solo (kiri) sedang menjelajahi situs Google Earth guna menemukan lokasi rumah Pak Rudy di daerah Pucangsawit. Berjas putih adalah R. Andoko, Ketua Apkomindo Surakarta. Penjelajahan situs Google Earth itu atas permintaan seorang blogger, pengelola situs Republik Aeng Aeng dan Mimpi Solo Cyber City, Bambang Haryanto (kaos merah).

Photobucket

Hik dan hotspot. Bambang Haryanto dan keponakannya, Lintang Rembulan (Ketua OSIS SMA St Yosef) asyik di depan laptop masing-masing. Sempat muncul guyon, bahwa mereka saat itu saling berdekatan dan meminum wedang jahe dari kedai hik yang sama, tetapi urusan di dunia maya tidaklah sama antara mereka berdua. Sejarawan dan pustakawan dari Library of Congress Daniel Boorstin pernah bilang, teknologi senantiasa mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Anda setuju ?

Photobucket

Becak dunia maya. Mimpi mustahil : bisakah suatu saat kelak becak Solo dilengkapi dengan laptop untuk digunakan penumpangnya ? Dua orang sopir becak sedang memperoleh kursus kilat tentang internet dari netter Solo yang guru SD Al Azhar Syifa Budi.

Photobucket

Generasi balita melek teknologi informasi. Pemandangan yang menyiratkan optimisme, sebagaimana nabi media digital Nicholas Negroponte dari MIT menuliskannya secara bernas dan indah dalam bukunya Being Digital yang terkenal itu. Ia percaya bahwa masa depan era digital itu akan memberikan kesejahteraan bagi umat manusia dan tulang punggungnya adalah anak-anak muda. Nampak si upik nampak nyaman dalam dekapan sang ibu di depan laptopnya. Si upik itulah di masa depan merupakan pemegang amanah bahwa era digital akan membawa kemaslahatan bersama.

Photobucket

Liputan media. Lembaran Suara Solo dari harian Suara Merdeka (14/7/2008) telah menempatkan acara uji coba 12/7/08 tersebut pada halaman pertama. Liputan ini berperan penting untuk membangkitkan kesadaran dan memberikan edukasi secara meluas kepada masyarakat Solo mengenai manfaat Internet bagi kehidupan mereka.

Sampai jumpa, tanggal 30 Juli 2008 mendatang !


Liputan oleh : Bambang Haryanto dibantu Mayor Haristanto, Ayu Permata Pekerti, Lintang Rembulan dan Nani Mayor.


raa

Senin, 14 Juli 2008

“Hotspot” Mubazir di UNS

Surat Pembaca Harian Kompas Jawa Tengah, Selasa, 18 Maret 2008 : D



Laporan harian ini mengenai UNS Sebelas Maret yang sedang merayakan dies natalisnya menarik untuk dibincangkan. Antara lain laporan mengenai tersedianya fasilitas hotspot atau sambungan Internet tanpa kabel di kampusnya yang memanjakan para mahasiswa dalam mengakses informasi global. Tetapi apakah para mahasiswa UNS itu hanya puas sebagai konsumen informasi ? Sepertinya kok begitu.

Sekadar ilustrasi, ketika mewakili komunitas Epistoholik Indonesia (EI) dan menjadi pemakalah pada Seminar Nasional “Jurnalisme Warga : Ancaman Bagi Media Massa ?” yang diadakan Lembaga Pers Mahasiswa VISI – FISIP UNS (28/2), saya sempat bertanya kepada hadirin yang sebagian besar mahasiswa. Seberapa banyak dari mereka yang telah mengelola blog atau jurnal di Internet ? Dari sekitar seratusan hadirin hanya 1-2 yang menunjukkan jarinya.

Arti dari gambaran kasar di atas adalah, kiranya masih dibutuhkan tekad dan kerja keras sivitas akademika UNS dalam memanfaatkan Internet secara produktif. Dalam artian, tidak hanya puas berhenti sebagai konsumen informasi belaka, tetapi juga harus menjadi produsen informasi bercakupan global.

Ketika masih terlalu banyak dosen dan mahasiswa mereka tidak memiliki blog, maka suara gagah sang Rektor UNS bahwa UNS Sebelas Maret sekarang ini mengincar cita-cita sebagai universitas kelas dunia, akan hanya sebagai ilusi, realitas yang jauh panggang dari api. (Naskah yang dimuat telah mengalami penyuntingan).

Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612
Blog EE : http://esaiei.blogspot.com


scc

Laptop di SMPN 1 Wonogiri

Surat Pembaca-Harian Kompas Jawa Tengah, Selasa, 25 September 2007


Pelawak seharusnya seorang penulis. Dengan demikian ia mampu menulis bahan lawakan yang otentik, yaitu otobiografinya sendiri. Seperti halnya pelawak kondang manca negara, hal itu membuat lawakan mereka orisinal dan unik karena muncul dari dalam sanubari yang bersangkutan.

Terlebih lagi, kini dengan bantuan komputer, menulis menjadi hal yang dimudahkan. Tetapi pelawak di Indonesia masih banyak bermodel Tukul Arwana. Ia tampil dengan laptop, tetapi hanya sebagai pembaca, bukan kreator atau penulis karya lawakan yang otentik mencerminkan riwayat hidup pribadinya sendiri.

Kepemilikan laptop yang penggunaannya model Tukul itu semoga tidak menular di kalangan guru SMP Negeri 1 Wonogiri. Diwartakan oleh media Jawa Tengah bahwa puluhan guru sekolah ini memperoleh laptop yang pembeliannya secara cicilan. Terobosan yang membanggakan.

Kini ditunggu, semoga laptopnya tidak hanya diisi program Powerpoint untuk memudahkan mereka mengajar di depan kelas. Tetapi juga digunakan untuk menulis, baik surat pembaca sampai artikel guna dipublikasikan di media cetak atau pun blog di Internet. Atau bahkan menulis buku.

Sekadar pemicu inspirasi, masuklah ke mesin pencari Google di Internet. Lalu ketikkan data “smp negeri 1 wonogiri” pasti akan diperoleh informasi sangat minim mengenai sekolah yang berambisi merintis kelas internasional itu. Saya justru pernah menemukan informasi bahwa SMP Negeri 1 Giritontro sudah memiliki blognya di Internet. Jadi ditunggu karya-karya tulis para guru yang sudah berlaptop itu untuk terpajang di Internet.

Sokur-sokur bila laptop itu merangsang mereka menjadi guru inspiratif, seperti Erin Gruwell dalam film Freedom Writers (2007). Ia berhasil mengubah wawasan muridnya yang semula urakan dan brutal menjadi optimistis dan berhasil dalam kehidupannya dengan menulis buku harian.

Tetapi kalau akhirnya para guru kita yang sudah berlaptop itu juga tetap tidak berkurang kuota jam nonton televisinya, maka dapat disimpulkan secara kasar bahwa kepemilikan laptop tersebut belumlah bermanfaat secara maksimal bagi pengembangan kadar intelektualitas yang bersangkutan.


Bambang Haryanto
Alumnus SMPN1 Wonogiri
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612
Warga Epistoholik Indonesia

scc

Tujuh Keajaiban Alam Indonesia

Surat Pembaca-Harian Kompas Jawa Tengah, Selasa, 18 September 2007



Dalam pelbagai literatur, Candi Borobudur tidak pernah masuk dalam daftar tujuh keajaiban dunia. Peluang bangsa Indonesia dengan kekuatannya sendiri untuk secara “resmi” memasukkannya sebagai salah tujuh keajaiban dunia yang baru, yang dibuka oleh The New7Wonders Foundation sejak 2001, baru saja kita sia-siakan.

Pemerintah kita yang cadok, gagap teknologi dan telat mikir, membuat potensi suara populasi warga Indonesia yang 200-an juta lebih untuk mengikuti jajak pendapat itu hanya muspra adanya.

Kini hadir peluang lain. Yayasan yang sama kini membuka jajak pendapat melalui Internet hingga 08-08-08 dalam menentukan Tujuh Keajaiban Alam Baru Dunia. Tergerak untuk tidak mengulangi blunder yang sama dan tidak usah menunggu prakarsa pemerintah, maka kami Epistoholik Indonesia (EI) dan Republik Aeng-Aeng berprakarsa meluncurkan kampanye nasional, menggalang warga Indonesia untuk mengikuti jajak pendapat tersebut.

Berdasarkan kajian kami, maka situs-situs yang kami nominasikan untuk dipilih meliputi (ditulis dalam bahasa Inggris untuk memudahkan mengisi jajak pendapat) : Komodo National Park (kategori : Animal Reserve), Lorentz National Park (Nature Conservancy Park), Sangiran (Prehistoric natural site), Ujung Kulon National Park (Nature Conservancy Park) dan Tropical Rainforest Heritage of Sumatra (Forest, Wood). Kelima situs itu sudah terdaftar sebagai situs warisan dunia oleh Unesco. Ditambah Heart of Borneo (Nature Conservancy Park) pilihan WWF dan Coral Triangle Papua (Nature Conservancy Park).

Daftar ini dapat diperkaya dengan situs-situs lainnya, asal saja yang berada di tanah air kita tercinta. Peserta jajak pendapat, silakan akses ke http://www.natural7wonders.com/. Anda akan diminta mengisi tujuh kolom isian, yaitu nama situs yang dinominasikan, jenis kategori dan asal negaranya. Syaratnya adalah memiliki alamat email yang valid. Seperti jajak pendapat yang lalu, peserta dimungkinkan melakukannya tidak hanya satu kali saja.

Ayo bangkit bangsa Indonesia. Kini Anda dan kita semua memiliki kekuatan sendiri untuk mampu mengangkat tinggi-tinggi khasanah alam kebanggaan negeri tercinta ini untuk didaulat sebagai salah satu dari tujuh keajaiban alam yang baru. Beraksilah, sekarang juga dan sebarkanlah ajakan ini seluas-luasnya. Terima kasih.

Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612
Email : humorliner(at)yahoo.com

Mayor Haristanto
Republik Aeng-Aeng
Jl. Kolonel Sugiyono 37 Solo
Email : presiden_pasoepati(at)yahoo.com

scc

Laptop, Tukul dan Anggota DPRD

Surat Pembaca – Harian Kompas Jawa Tengah, Selasa, 6 Februari 2007



Pemakai laptop yang terkenal di Indonesia, ada dua. Pertama, terpidana sebagai teroris Imam Samudra. Kedua, pelawak Tukul Arwana. Tokoh pertama, terkenal piawai menggunakan laptop untuk berkomunikasi dengan teman-temannya melalui Internet. Bahkan dari balik jeruji penjara. Tokoh kedua, nampaknya masih terbatas menggunakan laptop untuk membaca teks-teks yang memandu dirinya sebagai pembawa acara talkshow bernuansa lawak.

Kini pemakai laptop yang juga terkenal di Indonesia, adalah para anggota DPRD. Koran lokal di Solo mewartakan betapa banyak para anggota DPRD itu ternyata masih kikuk dan awam, hingga tampil cenunak-cenunuk dalam menggunakannya.

Mudah-mudahan mereka segera fasih dan memang sehari-hari menggunakannya. Diharapkan para wakil rakyat itu juga fasih menulis, mengkristalisasikan pikiran ke dalam bahasa, dan mempublikasikannya ke media. Baik cetak mau pun digital. Jadi mereka tidak hanya cakap omdo, omong doang, berbicara saja.

Semoga pula laptop mereka tersambung ke Internet, untuk membuka wawasannya. Sekaligus memudahkan diri mereka untuk dikontak oleh rakyat melalui sarana komunikasi digital yang egaliter tersebut.


Bambang Haryanto
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612
Email : humorliner(at) yahoo.com
Warga Epistoholik Indonesia


scc

"Solocon Valley"

Oleh : Bambang Haryanto
Harian Kompas Jawa Tengah, 5 Agustus 2006


Dalam fabel Barat, kelinci adalah lambang kecepatan. Menurut kajian profesor psikologi Robert Levine dari California State University di Fresno, kelinci digambarkan harus lari pontang-panting mengikuti irama hidup di Kota London, New York, maupun Tokyo. Sedangkan di Solo, kelinci itu justru tertidur dan mendengkur!

Levine melakukan pengukuran waktu terhadap irama hidup di kota besar dan kota menengah di pelbagai belahan dunia, di antaranya Jepang (Tokyo dan Sendai), Inggris (London dan Bristol), Taiwan (Taipei dan Tainan), Indonesia (Jakarta dan Solo), Italia (Roma dan Florence), dan Amerika Serikat (New York dan Rochester). Risetnya mengkaji tiga indikasi dasar: akurasi jam pada kantor bank, kecepatan pejalan kaki, dan kecepatan pegawai kantor pos melayani pembelian prangko.

Akurasi waktu terbaik diraih Jepang. Indonesia menempati peringkat paling buncit dari enam negara itu. Kecepatan seseorang berjalan kaki menempuh jarak 100 kaki, menempatkan orang Indonesia berstatus paling lambat.

Hasil riset Robert Levine yang dituangkan dalam majalah Psychology Today (3/1985) memberikan ilustrasi ketika ia mengukur efisiensi petugas pos melayani pembelian prangko. Di Solo, saat ia antre, pegawai pos yang menjual prangko malah asyik mengajaknya ngobrol membicarakan kerabatnya yang tinggal di Amerika Serikat (AS).


Selamat datang di Solo, kota dengan waktu tersedia melimpah di sana. Merujuk fenomena yang disebut sebagai waktu sosial atau denyut jantung masyarakat dalam memaknai waktu, masyarakat Solo khususnya dan masyarakat Jawa pada umumnya, memiliki pandangan unik.

Secara matematis, manusia hidup dalam hitungan waktu yang sama, 24 jam sehari, tetapi tidak semua budaya di dunia memaknainya secara sama. Barat memaknai waktu sebagai komoditas yang pasti habis. Waktu adalah uang. Tetapi, Jawa menganggap waktu sebagai proses siklus, sesuatu yang dapat terulang kembali.

Pemaknaan waktu khas masyarakat Jawa oleh pakar pemasaran Kafi Kurnia diungkap dengan ilustrasi menarik tentang fenomena umum di Solo. Ia sebutkan pemandangan unik, tukang becak yang tertidur ketika menunggu konsumennya. Juga budaya ngobrol di lapak wedangan yang terasa kental di Solo. Kafi Kurnia menantang, mengapa tidak menjual Kota Solo sebagai kota yang ideal untuk membunuh waktu, untuk santai-santai atau berbincang-bincang?

Tantangan menarik. Terlebih dalam konteks era network economy, ekonomi jaringan dalam dunia digital dewasa ini,

Kita dapat menyimak pandangan Kevin Kelly yang mampu memberikan perspektif baru yang brilian. Dalam karya tulis tonggak yang inspiratif, New Rules for the New Economy: Twelve Dependable Principles for Thriving in a Turbulent World (Wired, September 1997), ia katakan, Peter Drucker mencatat dalam abad industri, setiap pekerja yang mampu mengerjakan pekerjaannya secara lebih baik disebut sebagai produktivitas.

Namun, dalam ekonomi jaringan saat kebanyakan mesin mengerjakan pekerjaan manufaktur yang tak cocok untuk manusia, tugas setiap pekerja bukan "bagaimana mengerjakan pekerjaan secara benar", tetapi "pekerjaan apa yang benar untuk dikerjakan?" Di era mendatang, mengerjakan segala sesuatu secara benar jauh lebih produktif dibanding mengerjakan hal yang sama secara lebih baik.

Bagaimana seseorang secara mudah mengukur sense penting dalam eksplorasi dan penemuan? Semua ini tidak terlihat dalam parameter atau patok duga produktivitas. Sejatinya, menurut dia, menghambur- hamburkan waktu dan bekerja tidak efisien, merupakan jalan menuju penemuan. Situs web yang dioperasikan anak muda seumuran 20 tahun dapat terwujud, karena ia mampu menghabiskan waktu 50 jam untuk menjadi ahli merancang situs web.

Pekerja usia 40-an tahun tidak dapat mengambil liburan tanpa berpikir bagaimana dia menentukan apakah berlibur itu bisa disebut sebagai produktif atau tidak, sementara si anak muda tadi tinggal mengikuti naluri dan menciptakan beragam hal baru dalam desain web, tanpa menghitung apakah yang dilakukan itu efisien atau tidak. Dari otak-atik yang tak efisien itulah hadir masa depan.

Dalam era ekonomi jaringan, produktivitas bukan masalah krusial, karena kemampuan dalam menyelesaikan masalah sosial dan ekonomi kebanyakan dikekang, dibatasi, terutama oleh kurangnya imajinasi dalam menemukan peluang dibanding usaha mengoptimalkan solusi.

Seperti simpul Peter Drucker yang dikutip George Gilder, rumusnya berbunyi, "Jangan menyelesaikan masalah, tetapi carilah peluang. Apabila Anda menyelesaikan sesuatu masalah, Anda berinvestasi bagi kelemahan Anda. Tetapi bila Anda mencari peluang, maka Anda dapat memercayai jaringan, network."

Solo pun pernah melahirkan tokoh inovator, seperti Ronggowarsito, Yosodipuro, Martopangrawit, sampai Sardono W Kusumo, Rendra, dan Arswendo Atmowiloto. Bahkan juga tokoh sekaliber Ahmad Baiquni dan Amien Rais. Kini, Mayor Haristanto dengan Republik Aeng- Aeng-nya.

Merujuk modal besar Solo seperti disebut Kafi Kurnia dan terlebih peluangnya bersinergi dengan budaya ekonomi jaringan yang mengedepankan inovasi, seluruh stakeholder Kota Solo memiliki tantangan bagaimana mengubah kotanya jadi magnit bagi kalangan inovator, dari mana pun di dunia, untuk datang di Solo.

Akhirnya, sebagai warga kelahiran Solo dan merujuk pada gagasan pembangunan Techno Park di Mojosongo, saya ingin beriur gagasan dengan memimpikan Solo sebagai Solocon Valley, plesetan dari Silicon Valley, kluster area di negara bagian California, AS, yang dihuni perusahaan teknologi informasi ternama AS. Pekerjanya di sana yang merupakan otak-otak brilian itu ibarat campuran seniman dan ilmuwan.

Atmosfer suasana kerja yang tak formal karena kekakuan birokrasi akan membunuh inovasi, mereka pun berinteraksi dan mematangkan ide di kafe, dengan obrolan hingga larut malam, yang suasananya tak jauh berbeda dari suasana lapak wedangan di Solo.


Bambang Haryanto, pengamat sosial, tinggal di Kabupaten Wonogiri

scc

Kirab 1000 Komputer

Surat Pembaca Harian Kompas Jawa Tengah, Kamis, 13 April 2006


Setelah wayang, tahun ini UNESCO menetapkan keris Indonesia sebagai maha karya dunia. Saya tidak tahu apa dengan alasan itu Pemkab Wonogiri (12/2) menyelenggakan ritus jamasan pusaka dan diikuti kirab 1.000 keris. Pelaku kirab adalah siswa SLTP/SLTA Wonogiri yang hanya berbaris pasif, tanpa seni happening , dengan masing-masing membawa sebilah keris.

Kirab itu berkesan hanya sebagai acara tempelan. Jauh dari praksis memberikan penyadaran atau edukasi. Karena sama sekali tidak ditunjang dengan kegiatan ceramah, diskusi, pemutaran film, lomba karya tulis sampai workshop pembuatan keris sebagai karya seni dan warisan budaya.

Intinya, merupakan kegiatan edukatif menjauhkan generasi muda Wonogiri dari pemikiran ritus gugon tuhon seputar keris yang kental berselimutkan aura mistis, misterius, yang disebarluaskan dari mulut ke mulut atau sinetron. Ingat kasus penipuan menyangkut jual-beli keris yang dianggap sakti dan bertuah yang menimpa seorang cerdik pandai asal Semarang.

Alangkah idealnya bila selain kirab 1.000 keris juga disertai kirab 1.000 buku favorit pelajar, sampai kirab 1000 komputer di Wonogiri. Generasi muda Wonogiri harus pula diajak untuk berorientasi ke masa depan.

Kalau kirab keris hanya sebagai tempelan acara ritus jamasan pusaka yang disukai generasi-generasi tua, apalagi kental bernuansa aura mistis, generasi muda Wonogiri tidak memperoleh manfaat apa-apa.

Terutama dikaitkan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia di mana menurut Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal tanggal 7 Desember 2004 tersaji data pahit : dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah ternyata Wonogiri termasuk sebagai daerah tertinggal. Ngelus-elus dan menjamas keris saja jelas tidak menyumbang perubahan apa-apa !

Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612

Catatan : acara yang diniatkan untuk tercatat rekornya di Muri itu akhirnya tidak menjadi kenyataan. Karena ketika diadakan verifikasi secara acak oleh tim Muri telah ditemukan peserta kirab yang membawa “keris-keris palsu.”

scc

Teater Parodi Blogger

Dari Pembaca, Majalah Gatra, 14 Januari 2005


Mahasiswa Universitas Harvard punya majalah Lampoon untuk meledek politisi AS yang tidak becus. Sasaran tembak yang utama, apalagi, kalau bukan Presiden. Laporan mengenai ulah blogger Herman Saksono (Gatra, 24/12/2005) yang dengan cerdas memanipulasi foto tokoh-tokoh terkenal dalam foto mirip anak penguasa Orba dan artis selingkuhannya, mengundang senyum. Konteks yang ia hadirkan, menggelitik.

Tetapi berbeda dengan reaksi para pembaca Lampoon, sebagian yang merasa dekat dengan lingkar kekuasaan dari objek manipulasi foto dalam blog itu banyak yang merasa tersinggung. Biasa, yang mudah dan cepat marah itu justru para kopralnya. Bukan jendralnya. Akibatnya, pentas teater ikutan seputar tayangan blognya Herman tersebut menjadi semakin dobel-dobel lucunya.

Bagi saya, yang sangat dan paling lucu adalah saat seseorang yang konon dikenal sebagai pakar IT, mempermasalahkan situs-situs blog lain yang sukarela memasang hyperlink untuk blognya Herman. Menurut saya, ia sama sekali buta terhadap karakter media bebas berbasis digital ini.

Adalah B.L. Ochman, ahli strategi humas dan pemasaran bersenjatakan blog, memberi kiat jitu : link like crazy. “Aspek penting perbedaan antara memposting tulisan di blog dengan jurnalisme pohon mati (media kertas), para blogger itu wajib gila-gilaan membuat link untuk tulisannya”, tuturnya.

Blog adalah senjata ampuh Partai Demokrat AS di Pemilu 2004. Pentolannya, Joe Trippi. Tetapi kalau Partai Demokrat di sini “memelihara” ahli TI yang buta blog, anti blog, dan tidak mendapat simpati dari komunitas blogger, apa advantage dari kehadiran si pakar TI itu ?

Apalagi meremehkan isi kepala Herman Saksono, Priyadi, Enda Nasution dan ribuan blogger lainnya, adalah ibarat melawan takdir jaman. Silakan teliti isi majalah Business Week (awal Mei dan 12/12/2005) atau pun Fortune (Januari 2005).


Bambang Haryanto
Komedikus Erektus !
(http://komedian.blogspot.com)
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612
Email : humorliner (at) yahoo.com

scc

Internet di Sekolah

Surat Pembaca, Harian Kompas Jawa Tengah, 2 Oktober 2004


Sekolah Menengah Atas Negeri I Solo baru saja meluncurkan situs webnya di Internet. Upaya maju ini pantas menjadi pemacu sekolah lain di Solo dan sekitarnya, walau pelbagai sekolah di Bandung sudah memulainya sejak 1998. Sebagai pemerhati Internet dan pengelola lebih dari 30 situs blog warga Epistoholik Indonesia (http://episto.blogspot.com) di Internet, saya berharap pendayagunaan Internet untuk pendidikan itu menghormati fitrah Internet itu sendiri.

Sebab bila pendekatannya masih tradisional, atas-bawah (top-down), di mana guru atau penguasa pendidikan menjadi fihak yang superior, merasa paling tahu, maka hal itu hanya akan menyerimpung kedigdayaan Internet itu sendiri. Demikian pula pemanfaatan Internet hanya untuk menyerap informasi dari ratusan ribu situs web, nilai edukasinya pun tidak maksimal.

Hemat saya, pelajar kita, dari SD s.d PT, harus menjadi kreator, memproduksi informasi dan mengeksploitasi kelebihan Internet yang mendunia itu. Karena Internet ampuh sebagai sarana collaborative learning, misalnya bisa digagas ada sekelompok siswa membuat proyek pengajaran bahasa Jawa.

Mereka mengajar secara interaktif untuk murid-muridnya, misalnya anak-cucu orang Jawa yang tinggal di Suriname, di Liuzhov Propinsi Guanxi China Selatan, Patani di Thailand Selatan, juga mereka yang tinggal di Jakarta atau Jayapura. Sementara kelompok lain mengajar bahasa Indonesia untuk murid-murid SMA di Australia, Meksiko atau Rusia.

Majalah TIME (5/1995) ketika memuat tulisan pemanfaatan Internet di sekolah sebagai revolusi pembelajaran, memberi contoh tentang guru Malcolm Thompson dari Sekolah Dalton di New York, ketika mengajarkan astronomi. Tujuh komputer di kelas itu secara real time menayangkan jagat raya hasil amatan teleskop Observatorium Palomar di California. Dengan bantuan piranti lunak, para murid diminta memilih tiga bintang dan menghitung kekuatan cahaya serta suhunya. Intinya : para pelajar itu tidak lagi belajar astronomi, melainkan mereka tampil sebagai astronom itu sendiri !

Menjadikan para pelajar sebagai pengajar, kreator dan menjadi pelaku aktif, merupakan metode terampuh guna memacu penyerapan mereka terhadap materi pelajaran. Metode ini jauh lebih menyenangkan, lebih memorable, ketimbang metode suap, beo dan hapalan yang merajalela di atmosfir sekolah kita selama ini.

Semoga gambaran di atas bukan hal yang terlalu jauh untuk dijangkau dalam pemanfaatan kedigdayaan Internet untuk kemajuan pendidikan anak Indonesia.

scc

Kampanye Melek Komputer Untuk Lansia

Surat Pembaca, Kompas Jogja-Jateng, Senin, 19 Juli 2004


Penguasaan teknologi informasi, yaitu komputer dan jaringannya yang mendunia, yaitu Internet, dipercayai sebagai senjata dan bekal imperatif tiap insan guna mampu memenangkan persaingan dalam kehidupan antarbangsa. Di negara kita, selama ini, yang sering terdengar adalah upaya pembekalan keterampilan di atas untuk generasi muda kita. Hal itu, tentu tidak salah. Kini ijinkanlah saya mengajukan usul tambahan, mengenai juga pentingnya kampanye pengenalan dan praktek pemanfaatan komputer & Internet bagi lansia.

Begawan digital dari MIT (AS), Nicholas Negroponte dalam buku tersohornya, Being Digital , mengatakan bahwa di Amerika Serikat, terdapat 30 juta anggota AARP (organisasi kaum pensiunan, seperti PWRI) sebagai sumber kolektif ilmu pengetahuan dan kearifan yang masih terbengkalai. Dengan bantuan komputer dan Internet maka harta karun pengetahuan dan kearifan jutaan kaum lansia dapat dikomunikasikan dengan generasi anak-cucu mereka, hanya dengan beberapa ketuk tombol mesin ketik saja.

Merujuk cita-cita di atas, alangkah bijak bila mulai kini pimpinan lembaga tempat asal kaum lansia dulu bekerja atau institusi terkait seperti PWRI dan lainnya, tergerak menindaklanjuti ide Negroponte tadi. Misalnya dengan me-lungsur¬-kan komputer lama untuk organisasi pensiunannya, melakukan penataran penggunaan komputer dan Internet secukupnya, dan aktivitas lainnya yang menunjang.

Saya sebagai pencetus Epistoholik Indonesia (EI), yaitu komunitas penulis surat-surat pembaca di media massa yang kebetulan banyak warganya para pensiunan, salah satu misi EI adalah mengenalkan komputer dan Internet untuk mereka. Yang saya lakukan adalah, koleksi surat-surat pembaca kaum lansia yang kaya kearifan dan canggih-canggih itu, telah saya album di Internet (http://epsia.blogspot.com) agar mudah diakses peminat dari mana pun di dunia.

Semoga gagasan sederhana ini memperoleh sambutan dan pengayaan secukupnya. Terima kasih.


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612

Kartini Jangan Terbunuh di Sekolah

Oleh : Bambang Haryanto
Dimuat di Harian Suara Merdeka, Selasa, 20 April 2004


Majalah Newsweek satu dekade lalu, edisi 16 Mei 1994, memajang laporan utama mengenai kesenjangan jender di dunia teknologi tinggi, yaitu komputer. Mengutip laporan LIPI-nya AS, National Science Foundation, jumlah lulusan sarjana ilmu komputer berbanding 3-1 untuk keunggulan pria, dan angka itu semakin melebar. Fenomena yang kurang lebih sama juga terjadi di Indonesia.

Siti Nur Aryani (2004), mengutip kajian BPPT, memperkirakan kaum perempuan Indonesia yang memanfaatkan Internet pada tahun 2002 hanya 24,14 persen. Sementara itu peran kaum Kartini kita pun dalam ketenagakerjaan TI lebih dominan pada posisi administratif, seperti menangani surat elektronik, memasukkan data, atau operator komputer. Masih sedikit perempuan pada posisi tenaga ahli dan profesional, apalagi dalam struktur pengambilan keputusan dalam industri TI.

Bahkan menurut pengalamannya, tidak banyak perempuan berperan sebagai ilmuwan komputer dan programmer. Simpulnya, penyebab dari gambaran suram di atas, antara lain, akibat masih kuatnya cengkeraman kesenjangan jender di dunia industri dan akarnya mudah ditemui ketika Kartini-Kartini muda kita duduk di bangku sekolah.

Kevin Treu, Professor Ilmu Komputer dari Furman University, South Carolina (Technology & Learning, 5/1997), menyebutkan bahwa ilmu komputer dikarakterisasikan dengan apa yang disebut sebagai efek pipa. Semula tidak ada perbedaan prestasi antara pelajar laki-laki dan perempuan dalam mata pelajaran komputer di tingkat sekolah dasar. Mereka sama-sama menunjukkan minat yang tinggi.

The Pluto Institute, lembaga penelitian media di AS, pada tahun 1996 mengukuhkan hal yang sama ketika mengeluarkan buku putih berjudul Perempuan dan Revolusi Digital. Mereka melakukan kajian terhadap 140.000 perempuan AS dari tingkat pra-sekolah, kelas 1 SD, 5 SD, 2 SLP, 3 SLA dan tingkat mahasiswa, mengenai persepsi mereka tentang teknologi informasi (TI).

Hasilnya menggembirakan. Ketika diajukan pertanyaan, apakah perempuan mampu seperti halnya lelaki dalam berurusan dengan informasi digital, sebanyak 23 persen menjawab sama mampu, 2 persen kurang mampu dan 75 persen mengatakan lebih mampu. Sebanyak 80 persen menyatakan bahwa revolusi digital memberikan peluang bagi kaum perempuan yang semula belum terbuka untuk mereka dan 20 % menyatakan sebaliknya. Ketika didesak mengapa, 6 persen tidak menjawab dan 94 persen menyatakan karena teknologi tidak mengenal jender.

Tetapi dalam realitas, lanjut Treu, pada setiap tingkat proses pendidikan peserta perempuannya semakin banyak yang berguguran. Di tingkat SLTA semakin sedikit pelajar putri terjun dalam aktivitas memakai komputer, misalnya keikutsertaannya dalam lomba pemrograman. Ketika berkuliah, semakin sedikit mahasiswi mengambil jurusan ilmu komputer dibanding teman prianya. Akibatnya, makin sedikit pula perempuan yang mengambil jalur pasca-sarjana di bidang ilmu komputer, demikian juga ketika terjun berkarier sesudahnya.

Kesenjangan jender itu, menurut Treu, terjadi akibat kuatnya prasangka subtil yang mendera kalangan siswa perempuan selama duduk di bangku pendidikan. Contohnya, kalau anak-anak lelaki dibiarkan oleh orang tuanya untuk bermain-main lumpur, tetapi anak perempuannya diharuskan bersih dan rapi, hanya boleh bermain dengan bonekanya.

Anak perempuan juga sering ditakut-takuti mengenai angkernya pelajaran sains dan matematika, tidak hanya oleh sekolah, tetapi juga oleh orang tua mereka. Beragam isyarat atau teror halus yang tidak direncanakan itu, baik ditunjukkan oleh kalangan guru, baik pria atau pun wanita, dan juga orang tuanya, berdampak terciptanya harapan yang lebih rendah bagi kalangan pelajar perempuan untuk terpacu menguasai teknologi.

Sarah Douglas, professor ilmu komputer dari Universitas Oregon, dalam eksperimennya memajang komputer yang telah diisi aneka program menarik dalam sebuah bursa kerja. Tujuannya untuk mengenalkan profesi-profesi baru yang belum populer dikenali para mahasiswi.

Hasilnya saat itu, tak ada satu pun mahasiswi yang singgah di kiosnya. Ketika ditanya, para mahasiswi itu menjelaskan bahwa komputer itu “barang” dan “dunia” kaum pria, di mana ketika mereka ingin mencoba memasukinya, mereka akan diusir dan dilecehkan. Akibatnya, para perempuan muda terdidik itu menjadi frustrasi dan akhirnya minatnya pun menjadi mati.

Mencoba memperbaiki keadaan, Kevin Treu merancang ulang mata kuliah Pengantar Komputasi dan Ilmu Komputer yang diajarkannya. Tujuan kuliah tetap, tetapi isinya mengalami perubahan, kini dengan sentuhan yang lebih ramah terhadap perempuan. Ketika membahas sejarah komputasi, ia tekankan pentingnya kontribusi kaum perempuan dalam pengembangan ilmu komputer. Misalnya, salah satu programer komputer yang pertama adalah seorang perempuan. Dia adalah Ada Lovelace yang bekerja bersama Charles Babbage pada tahun 1800 saat merancang komputer mekanis yang pertama.

Kalau selama ini kalangan laki-laki selalu menganggap komputer sebagai peralatan mandiri yang canggih, sementara itu kaum perempuan lebih cenderung mengharapkannya sebagai alat yang berguna secara praktis dan relevan bagi kepentingannya sehari-hari. Merujuk hal itu, Treu kemudian merancang mata pelajaran praktik yang melibatkan bahasan manfaat komputer dalam kehidupan nyata.

Perubahan ini berimbas pada perubahan suasana dan aktivitas kelas. Ia mendorong mereka untuk bekerjasama dalam sebuah tim, memaksimalkan pengalaman sosial masing-masing dalam memecahkan masalah dan meminimalkan pola kerja individualis yang penuh persaingan, pola kerja yang tidak disukai kaum perempuan. Perubahan dalam materi kuliahya termasuk ditambahkannya pelajaran etika dan kajian mengenai semakin pentingnya peran komputer dalam aktivitas bekerja jarak jauh (telecommuting), bedah jarak jauh dan pendidikan. Riset menunjukkan bahwa kalangan perempuan lebih tertarik bila dibukakan pemahamannya mengenai manfaat komputer sebagai sarana untuk menolong orang lain dan mempersatukan mereka.

Pendekatan baru Treu tersebut mengisyaratkan perubahan sikap di kalangan guru dalam merancang dan melaksanakan pengajaran komputer yang ramah terhadap perempuan. Antara lain, berilah peluang murid perempuan untuk menjawab pertanyaan seleluasa murid lelaki dan jangan diinterupsi. Jika mereka kesulitan menjawab pertanyaan, jangan alihkan kepada murid lelaki untuk menjawabnya. Hal ini akan hanya memberikan pesan yang salah.

Alokasikan waktu yang sama bagi murid perempuan dan lelaki dalam mempelajari dasar-dasar penguasaan komputer, sehingga siswa perempuan mendapat keyakinan kuat bahwa mereka berangkat dari keterampilan awal yang juga sama. Tidak kalah pentingnya, harus dirancang program bimbingan (mentoring) yang membukakan akses para siswa perempuan terhadap kalangan akademisi dan profesional perempuan untuk menjadi role model mereka.

Untuk yang terakhir ini, kita dapat belajar dari keberadaan lembaga MentorNet di AS. MentorNet (www.advancingwomen.com/wk_mentornet.html) adalah program penasehat nasional industri elektronik untuk perempuan, baik untuk yang telah menyelesaikan atau pun tidak menyelesaikan pendidikan, dalam bidang sains dan teknik.

Lembaga ini membuat suatu hubungan antara siswa dan mentor sukarela dari industri serta perusahaan tertentu melalui kontak dengan surat elektronik (e-mail). Proses yang diperoleh dari pengalaman profesional dan relawan ini membantu siswa dalam memperoleh wawasan mengenai karier, bimbingan belajar dan nasehat yang didasarkan pada pengalaman, dukungan, semangat dan akses terhadap jaringan profesional.

Untuk merespons perkembangan teknologi informasi yang cepat, peranserta Kartini-Kartini muda kita adalah keniscayaan. Oleh karena itu, pendidikan dan karier di bidang teknologi informasi ini harus ditumbuhsuburkan sejak dini. Kalangan guru, orang tua dan mentor, dituntut memberikan informasi dan perilaku yang tepat guna menyemaikan benih-benih ketertarikan terhadap teknologi informasi yang secara naluriah dimiliki oleh siswa laki-laki atau pun perempuan.

Janganlah hanya karena kekolotan pemahaman, kepicikan dan kebutaan kita terhadap masa depan, berakibat sangat fatal di mana jutaan Kartini-Kartini muda kita terbunuh peluangnya untuk berkiprah di dunia teknologi informasi justru diawali ketika mereka duduk di bangku sekolah ! ***


Bambang Haryanto, konsultan komunikasi. Alumnus Universitas Indonesia.


scc

Minggu, 13 Juli 2008