Senin, 14 Juli 2008

"Solocon Valley"

Oleh : Bambang Haryanto
Harian Kompas Jawa Tengah, 5 Agustus 2006


Dalam fabel Barat, kelinci adalah lambang kecepatan. Menurut kajian profesor psikologi Robert Levine dari California State University di Fresno, kelinci digambarkan harus lari pontang-panting mengikuti irama hidup di Kota London, New York, maupun Tokyo. Sedangkan di Solo, kelinci itu justru tertidur dan mendengkur!

Levine melakukan pengukuran waktu terhadap irama hidup di kota besar dan kota menengah di pelbagai belahan dunia, di antaranya Jepang (Tokyo dan Sendai), Inggris (London dan Bristol), Taiwan (Taipei dan Tainan), Indonesia (Jakarta dan Solo), Italia (Roma dan Florence), dan Amerika Serikat (New York dan Rochester). Risetnya mengkaji tiga indikasi dasar: akurasi jam pada kantor bank, kecepatan pejalan kaki, dan kecepatan pegawai kantor pos melayani pembelian prangko.

Akurasi waktu terbaik diraih Jepang. Indonesia menempati peringkat paling buncit dari enam negara itu. Kecepatan seseorang berjalan kaki menempuh jarak 100 kaki, menempatkan orang Indonesia berstatus paling lambat.

Hasil riset Robert Levine yang dituangkan dalam majalah Psychology Today (3/1985) memberikan ilustrasi ketika ia mengukur efisiensi petugas pos melayani pembelian prangko. Di Solo, saat ia antre, pegawai pos yang menjual prangko malah asyik mengajaknya ngobrol membicarakan kerabatnya yang tinggal di Amerika Serikat (AS).


Selamat datang di Solo, kota dengan waktu tersedia melimpah di sana. Merujuk fenomena yang disebut sebagai waktu sosial atau denyut jantung masyarakat dalam memaknai waktu, masyarakat Solo khususnya dan masyarakat Jawa pada umumnya, memiliki pandangan unik.

Secara matematis, manusia hidup dalam hitungan waktu yang sama, 24 jam sehari, tetapi tidak semua budaya di dunia memaknainya secara sama. Barat memaknai waktu sebagai komoditas yang pasti habis. Waktu adalah uang. Tetapi, Jawa menganggap waktu sebagai proses siklus, sesuatu yang dapat terulang kembali.

Pemaknaan waktu khas masyarakat Jawa oleh pakar pemasaran Kafi Kurnia diungkap dengan ilustrasi menarik tentang fenomena umum di Solo. Ia sebutkan pemandangan unik, tukang becak yang tertidur ketika menunggu konsumennya. Juga budaya ngobrol di lapak wedangan yang terasa kental di Solo. Kafi Kurnia menantang, mengapa tidak menjual Kota Solo sebagai kota yang ideal untuk membunuh waktu, untuk santai-santai atau berbincang-bincang?

Tantangan menarik. Terlebih dalam konteks era network economy, ekonomi jaringan dalam dunia digital dewasa ini,

Kita dapat menyimak pandangan Kevin Kelly yang mampu memberikan perspektif baru yang brilian. Dalam karya tulis tonggak yang inspiratif, New Rules for the New Economy: Twelve Dependable Principles for Thriving in a Turbulent World (Wired, September 1997), ia katakan, Peter Drucker mencatat dalam abad industri, setiap pekerja yang mampu mengerjakan pekerjaannya secara lebih baik disebut sebagai produktivitas.

Namun, dalam ekonomi jaringan saat kebanyakan mesin mengerjakan pekerjaan manufaktur yang tak cocok untuk manusia, tugas setiap pekerja bukan "bagaimana mengerjakan pekerjaan secara benar", tetapi "pekerjaan apa yang benar untuk dikerjakan?" Di era mendatang, mengerjakan segala sesuatu secara benar jauh lebih produktif dibanding mengerjakan hal yang sama secara lebih baik.

Bagaimana seseorang secara mudah mengukur sense penting dalam eksplorasi dan penemuan? Semua ini tidak terlihat dalam parameter atau patok duga produktivitas. Sejatinya, menurut dia, menghambur- hamburkan waktu dan bekerja tidak efisien, merupakan jalan menuju penemuan. Situs web yang dioperasikan anak muda seumuran 20 tahun dapat terwujud, karena ia mampu menghabiskan waktu 50 jam untuk menjadi ahli merancang situs web.

Pekerja usia 40-an tahun tidak dapat mengambil liburan tanpa berpikir bagaimana dia menentukan apakah berlibur itu bisa disebut sebagai produktif atau tidak, sementara si anak muda tadi tinggal mengikuti naluri dan menciptakan beragam hal baru dalam desain web, tanpa menghitung apakah yang dilakukan itu efisien atau tidak. Dari otak-atik yang tak efisien itulah hadir masa depan.

Dalam era ekonomi jaringan, produktivitas bukan masalah krusial, karena kemampuan dalam menyelesaikan masalah sosial dan ekonomi kebanyakan dikekang, dibatasi, terutama oleh kurangnya imajinasi dalam menemukan peluang dibanding usaha mengoptimalkan solusi.

Seperti simpul Peter Drucker yang dikutip George Gilder, rumusnya berbunyi, "Jangan menyelesaikan masalah, tetapi carilah peluang. Apabila Anda menyelesaikan sesuatu masalah, Anda berinvestasi bagi kelemahan Anda. Tetapi bila Anda mencari peluang, maka Anda dapat memercayai jaringan, network."

Solo pun pernah melahirkan tokoh inovator, seperti Ronggowarsito, Yosodipuro, Martopangrawit, sampai Sardono W Kusumo, Rendra, dan Arswendo Atmowiloto. Bahkan juga tokoh sekaliber Ahmad Baiquni dan Amien Rais. Kini, Mayor Haristanto dengan Republik Aeng- Aeng-nya.

Merujuk modal besar Solo seperti disebut Kafi Kurnia dan terlebih peluangnya bersinergi dengan budaya ekonomi jaringan yang mengedepankan inovasi, seluruh stakeholder Kota Solo memiliki tantangan bagaimana mengubah kotanya jadi magnit bagi kalangan inovator, dari mana pun di dunia, untuk datang di Solo.

Akhirnya, sebagai warga kelahiran Solo dan merujuk pada gagasan pembangunan Techno Park di Mojosongo, saya ingin beriur gagasan dengan memimpikan Solo sebagai Solocon Valley, plesetan dari Silicon Valley, kluster area di negara bagian California, AS, yang dihuni perusahaan teknologi informasi ternama AS. Pekerjanya di sana yang merupakan otak-otak brilian itu ibarat campuran seniman dan ilmuwan.

Atmosfer suasana kerja yang tak formal karena kekakuan birokrasi akan membunuh inovasi, mereka pun berinteraksi dan mematangkan ide di kafe, dengan obrolan hingga larut malam, yang suasananya tak jauh berbeda dari suasana lapak wedangan di Solo.


Bambang Haryanto, pengamat sosial, tinggal di Kabupaten Wonogiri

scc

Tidak ada komentar: