Senin, 14 Juli 2008
Internet di Sekolah
Surat Pembaca, Harian Kompas Jawa Tengah, 2 Oktober 2004
Sekolah Menengah Atas Negeri I Solo baru saja meluncurkan situs webnya di Internet. Upaya maju ini pantas menjadi pemacu sekolah lain di Solo dan sekitarnya, walau pelbagai sekolah di Bandung sudah memulainya sejak 1998. Sebagai pemerhati Internet dan pengelola lebih dari 30 situs blog warga Epistoholik Indonesia (http://episto.blogspot.com) di Internet, saya berharap pendayagunaan Internet untuk pendidikan itu menghormati fitrah Internet itu sendiri.
Sebab bila pendekatannya masih tradisional, atas-bawah (top-down), di mana guru atau penguasa pendidikan menjadi fihak yang superior, merasa paling tahu, maka hal itu hanya akan menyerimpung kedigdayaan Internet itu sendiri. Demikian pula pemanfaatan Internet hanya untuk menyerap informasi dari ratusan ribu situs web, nilai edukasinya pun tidak maksimal.
Hemat saya, pelajar kita, dari SD s.d PT, harus menjadi kreator, memproduksi informasi dan mengeksploitasi kelebihan Internet yang mendunia itu. Karena Internet ampuh sebagai sarana collaborative learning, misalnya bisa digagas ada sekelompok siswa membuat proyek pengajaran bahasa Jawa.
Mereka mengajar secara interaktif untuk murid-muridnya, misalnya anak-cucu orang Jawa yang tinggal di Suriname, di Liuzhov Propinsi Guanxi China Selatan, Patani di Thailand Selatan, juga mereka yang tinggal di Jakarta atau Jayapura. Sementara kelompok lain mengajar bahasa Indonesia untuk murid-murid SMA di Australia, Meksiko atau Rusia.
Majalah TIME (5/1995) ketika memuat tulisan pemanfaatan Internet di sekolah sebagai revolusi pembelajaran, memberi contoh tentang guru Malcolm Thompson dari Sekolah Dalton di New York, ketika mengajarkan astronomi. Tujuh komputer di kelas itu secara real time menayangkan jagat raya hasil amatan teleskop Observatorium Palomar di California. Dengan bantuan piranti lunak, para murid diminta memilih tiga bintang dan menghitung kekuatan cahaya serta suhunya. Intinya : para pelajar itu tidak lagi belajar astronomi, melainkan mereka tampil sebagai astronom itu sendiri !
Menjadikan para pelajar sebagai pengajar, kreator dan menjadi pelaku aktif, merupakan metode terampuh guna memacu penyerapan mereka terhadap materi pelajaran. Metode ini jauh lebih menyenangkan, lebih memorable, ketimbang metode suap, beo dan hapalan yang merajalela di atmosfir sekolah kita selama ini.
Semoga gambaran di atas bukan hal yang terlalu jauh untuk dijangkau dalam pemanfaatan kedigdayaan Internet untuk kemajuan pendidikan anak Indonesia.
scc
Sekolah Menengah Atas Negeri I Solo baru saja meluncurkan situs webnya di Internet. Upaya maju ini pantas menjadi pemacu sekolah lain di Solo dan sekitarnya, walau pelbagai sekolah di Bandung sudah memulainya sejak 1998. Sebagai pemerhati Internet dan pengelola lebih dari 30 situs blog warga Epistoholik Indonesia (http://episto.blogspot.com) di Internet, saya berharap pendayagunaan Internet untuk pendidikan itu menghormati fitrah Internet itu sendiri.
Sebab bila pendekatannya masih tradisional, atas-bawah (top-down), di mana guru atau penguasa pendidikan menjadi fihak yang superior, merasa paling tahu, maka hal itu hanya akan menyerimpung kedigdayaan Internet itu sendiri. Demikian pula pemanfaatan Internet hanya untuk menyerap informasi dari ratusan ribu situs web, nilai edukasinya pun tidak maksimal.
Hemat saya, pelajar kita, dari SD s.d PT, harus menjadi kreator, memproduksi informasi dan mengeksploitasi kelebihan Internet yang mendunia itu. Karena Internet ampuh sebagai sarana collaborative learning, misalnya bisa digagas ada sekelompok siswa membuat proyek pengajaran bahasa Jawa.
Mereka mengajar secara interaktif untuk murid-muridnya, misalnya anak-cucu orang Jawa yang tinggal di Suriname, di Liuzhov Propinsi Guanxi China Selatan, Patani di Thailand Selatan, juga mereka yang tinggal di Jakarta atau Jayapura. Sementara kelompok lain mengajar bahasa Indonesia untuk murid-murid SMA di Australia, Meksiko atau Rusia.
Majalah TIME (5/1995) ketika memuat tulisan pemanfaatan Internet di sekolah sebagai revolusi pembelajaran, memberi contoh tentang guru Malcolm Thompson dari Sekolah Dalton di New York, ketika mengajarkan astronomi. Tujuh komputer di kelas itu secara real time menayangkan jagat raya hasil amatan teleskop Observatorium Palomar di California. Dengan bantuan piranti lunak, para murid diminta memilih tiga bintang dan menghitung kekuatan cahaya serta suhunya. Intinya : para pelajar itu tidak lagi belajar astronomi, melainkan mereka tampil sebagai astronom itu sendiri !
Menjadikan para pelajar sebagai pengajar, kreator dan menjadi pelaku aktif, merupakan metode terampuh guna memacu penyerapan mereka terhadap materi pelajaran. Metode ini jauh lebih menyenangkan, lebih memorable, ketimbang metode suap, beo dan hapalan yang merajalela di atmosfir sekolah kita selama ini.
Semoga gambaran di atas bukan hal yang terlalu jauh untuk dijangkau dalam pemanfaatan kedigdayaan Internet untuk kemajuan pendidikan anak Indonesia.
scc
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar