Senin, 14 Juli 2008
Kartini Jangan Terbunuh di Sekolah
Oleh : Bambang Haryanto
Dimuat di Harian Suara Merdeka, Selasa, 20 April 2004
Majalah Newsweek satu dekade lalu, edisi 16 Mei 1994, memajang laporan utama mengenai kesenjangan jender di dunia teknologi tinggi, yaitu komputer. Mengutip laporan LIPI-nya AS, National Science Foundation, jumlah lulusan sarjana ilmu komputer berbanding 3-1 untuk keunggulan pria, dan angka itu semakin melebar. Fenomena yang kurang lebih sama juga terjadi di Indonesia.
Siti Nur Aryani (2004), mengutip kajian BPPT, memperkirakan kaum perempuan Indonesia yang memanfaatkan Internet pada tahun 2002 hanya 24,14 persen. Sementara itu peran kaum Kartini kita pun dalam ketenagakerjaan TI lebih dominan pada posisi administratif, seperti menangani surat elektronik, memasukkan data, atau operator komputer. Masih sedikit perempuan pada posisi tenaga ahli dan profesional, apalagi dalam struktur pengambilan keputusan dalam industri TI.
Bahkan menurut pengalamannya, tidak banyak perempuan berperan sebagai ilmuwan komputer dan programmer. Simpulnya, penyebab dari gambaran suram di atas, antara lain, akibat masih kuatnya cengkeraman kesenjangan jender di dunia industri dan akarnya mudah ditemui ketika Kartini-Kartini muda kita duduk di bangku sekolah.
Kevin Treu, Professor Ilmu Komputer dari Furman University, South Carolina (Technology & Learning, 5/1997), menyebutkan bahwa ilmu komputer dikarakterisasikan dengan apa yang disebut sebagai efek pipa. Semula tidak ada perbedaan prestasi antara pelajar laki-laki dan perempuan dalam mata pelajaran komputer di tingkat sekolah dasar. Mereka sama-sama menunjukkan minat yang tinggi.
The Pluto Institute, lembaga penelitian media di AS, pada tahun 1996 mengukuhkan hal yang sama ketika mengeluarkan buku putih berjudul Perempuan dan Revolusi Digital. Mereka melakukan kajian terhadap 140.000 perempuan AS dari tingkat pra-sekolah, kelas 1 SD, 5 SD, 2 SLP, 3 SLA dan tingkat mahasiswa, mengenai persepsi mereka tentang teknologi informasi (TI).
Hasilnya menggembirakan. Ketika diajukan pertanyaan, apakah perempuan mampu seperti halnya lelaki dalam berurusan dengan informasi digital, sebanyak 23 persen menjawab sama mampu, 2 persen kurang mampu dan 75 persen mengatakan lebih mampu. Sebanyak 80 persen menyatakan bahwa revolusi digital memberikan peluang bagi kaum perempuan yang semula belum terbuka untuk mereka dan 20 % menyatakan sebaliknya. Ketika didesak mengapa, 6 persen tidak menjawab dan 94 persen menyatakan karena teknologi tidak mengenal jender.
Tetapi dalam realitas, lanjut Treu, pada setiap tingkat proses pendidikan peserta perempuannya semakin banyak yang berguguran. Di tingkat SLTA semakin sedikit pelajar putri terjun dalam aktivitas memakai komputer, misalnya keikutsertaannya dalam lomba pemrograman. Ketika berkuliah, semakin sedikit mahasiswi mengambil jurusan ilmu komputer dibanding teman prianya. Akibatnya, makin sedikit pula perempuan yang mengambil jalur pasca-sarjana di bidang ilmu komputer, demikian juga ketika terjun berkarier sesudahnya.
Kesenjangan jender itu, menurut Treu, terjadi akibat kuatnya prasangka subtil yang mendera kalangan siswa perempuan selama duduk di bangku pendidikan. Contohnya, kalau anak-anak lelaki dibiarkan oleh orang tuanya untuk bermain-main lumpur, tetapi anak perempuannya diharuskan bersih dan rapi, hanya boleh bermain dengan bonekanya.
Anak perempuan juga sering ditakut-takuti mengenai angkernya pelajaran sains dan matematika, tidak hanya oleh sekolah, tetapi juga oleh orang tua mereka. Beragam isyarat atau teror halus yang tidak direncanakan itu, baik ditunjukkan oleh kalangan guru, baik pria atau pun wanita, dan juga orang tuanya, berdampak terciptanya harapan yang lebih rendah bagi kalangan pelajar perempuan untuk terpacu menguasai teknologi.
Sarah Douglas, professor ilmu komputer dari Universitas Oregon, dalam eksperimennya memajang komputer yang telah diisi aneka program menarik dalam sebuah bursa kerja. Tujuannya untuk mengenalkan profesi-profesi baru yang belum populer dikenali para mahasiswi.
Hasilnya saat itu, tak ada satu pun mahasiswi yang singgah di kiosnya. Ketika ditanya, para mahasiswi itu menjelaskan bahwa komputer itu “barang” dan “dunia” kaum pria, di mana ketika mereka ingin mencoba memasukinya, mereka akan diusir dan dilecehkan. Akibatnya, para perempuan muda terdidik itu menjadi frustrasi dan akhirnya minatnya pun menjadi mati.
Mencoba memperbaiki keadaan, Kevin Treu merancang ulang mata kuliah Pengantar Komputasi dan Ilmu Komputer yang diajarkannya. Tujuan kuliah tetap, tetapi isinya mengalami perubahan, kini dengan sentuhan yang lebih ramah terhadap perempuan. Ketika membahas sejarah komputasi, ia tekankan pentingnya kontribusi kaum perempuan dalam pengembangan ilmu komputer. Misalnya, salah satu programer komputer yang pertama adalah seorang perempuan. Dia adalah Ada Lovelace yang bekerja bersama Charles Babbage pada tahun 1800 saat merancang komputer mekanis yang pertama.
Kalau selama ini kalangan laki-laki selalu menganggap komputer sebagai peralatan mandiri yang canggih, sementara itu kaum perempuan lebih cenderung mengharapkannya sebagai alat yang berguna secara praktis dan relevan bagi kepentingannya sehari-hari. Merujuk hal itu, Treu kemudian merancang mata pelajaran praktik yang melibatkan bahasan manfaat komputer dalam kehidupan nyata.
Perubahan ini berimbas pada perubahan suasana dan aktivitas kelas. Ia mendorong mereka untuk bekerjasama dalam sebuah tim, memaksimalkan pengalaman sosial masing-masing dalam memecahkan masalah dan meminimalkan pola kerja individualis yang penuh persaingan, pola kerja yang tidak disukai kaum perempuan. Perubahan dalam materi kuliahya termasuk ditambahkannya pelajaran etika dan kajian mengenai semakin pentingnya peran komputer dalam aktivitas bekerja jarak jauh (telecommuting), bedah jarak jauh dan pendidikan. Riset menunjukkan bahwa kalangan perempuan lebih tertarik bila dibukakan pemahamannya mengenai manfaat komputer sebagai sarana untuk menolong orang lain dan mempersatukan mereka.
Pendekatan baru Treu tersebut mengisyaratkan perubahan sikap di kalangan guru dalam merancang dan melaksanakan pengajaran komputer yang ramah terhadap perempuan. Antara lain, berilah peluang murid perempuan untuk menjawab pertanyaan seleluasa murid lelaki dan jangan diinterupsi. Jika mereka kesulitan menjawab pertanyaan, jangan alihkan kepada murid lelaki untuk menjawabnya. Hal ini akan hanya memberikan pesan yang salah.
Alokasikan waktu yang sama bagi murid perempuan dan lelaki dalam mempelajari dasar-dasar penguasaan komputer, sehingga siswa perempuan mendapat keyakinan kuat bahwa mereka berangkat dari keterampilan awal yang juga sama. Tidak kalah pentingnya, harus dirancang program bimbingan (mentoring) yang membukakan akses para siswa perempuan terhadap kalangan akademisi dan profesional perempuan untuk menjadi role model mereka.
Untuk yang terakhir ini, kita dapat belajar dari keberadaan lembaga MentorNet di AS. MentorNet (www.advancingwomen.com/wk_mentornet.html) adalah program penasehat nasional industri elektronik untuk perempuan, baik untuk yang telah menyelesaikan atau pun tidak menyelesaikan pendidikan, dalam bidang sains dan teknik.
Lembaga ini membuat suatu hubungan antara siswa dan mentor sukarela dari industri serta perusahaan tertentu melalui kontak dengan surat elektronik (e-mail). Proses yang diperoleh dari pengalaman profesional dan relawan ini membantu siswa dalam memperoleh wawasan mengenai karier, bimbingan belajar dan nasehat yang didasarkan pada pengalaman, dukungan, semangat dan akses terhadap jaringan profesional.
Untuk merespons perkembangan teknologi informasi yang cepat, peranserta Kartini-Kartini muda kita adalah keniscayaan. Oleh karena itu, pendidikan dan karier di bidang teknologi informasi ini harus ditumbuhsuburkan sejak dini. Kalangan guru, orang tua dan mentor, dituntut memberikan informasi dan perilaku yang tepat guna menyemaikan benih-benih ketertarikan terhadap teknologi informasi yang secara naluriah dimiliki oleh siswa laki-laki atau pun perempuan.
Janganlah hanya karena kekolotan pemahaman, kepicikan dan kebutaan kita terhadap masa depan, berakibat sangat fatal di mana jutaan Kartini-Kartini muda kita terbunuh peluangnya untuk berkiprah di dunia teknologi informasi justru diawali ketika mereka duduk di bangku sekolah ! ***
Bambang Haryanto, konsultan komunikasi. Alumnus Universitas Indonesia.
scc
Dimuat di Harian Suara Merdeka, Selasa, 20 April 2004
Majalah Newsweek satu dekade lalu, edisi 16 Mei 1994, memajang laporan utama mengenai kesenjangan jender di dunia teknologi tinggi, yaitu komputer. Mengutip laporan LIPI-nya AS, National Science Foundation, jumlah lulusan sarjana ilmu komputer berbanding 3-1 untuk keunggulan pria, dan angka itu semakin melebar. Fenomena yang kurang lebih sama juga terjadi di Indonesia.
Siti Nur Aryani (2004), mengutip kajian BPPT, memperkirakan kaum perempuan Indonesia yang memanfaatkan Internet pada tahun 2002 hanya 24,14 persen. Sementara itu peran kaum Kartini kita pun dalam ketenagakerjaan TI lebih dominan pada posisi administratif, seperti menangani surat elektronik, memasukkan data, atau operator komputer. Masih sedikit perempuan pada posisi tenaga ahli dan profesional, apalagi dalam struktur pengambilan keputusan dalam industri TI.
Bahkan menurut pengalamannya, tidak banyak perempuan berperan sebagai ilmuwan komputer dan programmer. Simpulnya, penyebab dari gambaran suram di atas, antara lain, akibat masih kuatnya cengkeraman kesenjangan jender di dunia industri dan akarnya mudah ditemui ketika Kartini-Kartini muda kita duduk di bangku sekolah.
Kevin Treu, Professor Ilmu Komputer dari Furman University, South Carolina (Technology & Learning, 5/1997), menyebutkan bahwa ilmu komputer dikarakterisasikan dengan apa yang disebut sebagai efek pipa. Semula tidak ada perbedaan prestasi antara pelajar laki-laki dan perempuan dalam mata pelajaran komputer di tingkat sekolah dasar. Mereka sama-sama menunjukkan minat yang tinggi.
The Pluto Institute, lembaga penelitian media di AS, pada tahun 1996 mengukuhkan hal yang sama ketika mengeluarkan buku putih berjudul Perempuan dan Revolusi Digital. Mereka melakukan kajian terhadap 140.000 perempuan AS dari tingkat pra-sekolah, kelas 1 SD, 5 SD, 2 SLP, 3 SLA dan tingkat mahasiswa, mengenai persepsi mereka tentang teknologi informasi (TI).
Hasilnya menggembirakan. Ketika diajukan pertanyaan, apakah perempuan mampu seperti halnya lelaki dalam berurusan dengan informasi digital, sebanyak 23 persen menjawab sama mampu, 2 persen kurang mampu dan 75 persen mengatakan lebih mampu. Sebanyak 80 persen menyatakan bahwa revolusi digital memberikan peluang bagi kaum perempuan yang semula belum terbuka untuk mereka dan 20 % menyatakan sebaliknya. Ketika didesak mengapa, 6 persen tidak menjawab dan 94 persen menyatakan karena teknologi tidak mengenal jender.
Tetapi dalam realitas, lanjut Treu, pada setiap tingkat proses pendidikan peserta perempuannya semakin banyak yang berguguran. Di tingkat SLTA semakin sedikit pelajar putri terjun dalam aktivitas memakai komputer, misalnya keikutsertaannya dalam lomba pemrograman. Ketika berkuliah, semakin sedikit mahasiswi mengambil jurusan ilmu komputer dibanding teman prianya. Akibatnya, makin sedikit pula perempuan yang mengambil jalur pasca-sarjana di bidang ilmu komputer, demikian juga ketika terjun berkarier sesudahnya.
Kesenjangan jender itu, menurut Treu, terjadi akibat kuatnya prasangka subtil yang mendera kalangan siswa perempuan selama duduk di bangku pendidikan. Contohnya, kalau anak-anak lelaki dibiarkan oleh orang tuanya untuk bermain-main lumpur, tetapi anak perempuannya diharuskan bersih dan rapi, hanya boleh bermain dengan bonekanya.
Anak perempuan juga sering ditakut-takuti mengenai angkernya pelajaran sains dan matematika, tidak hanya oleh sekolah, tetapi juga oleh orang tua mereka. Beragam isyarat atau teror halus yang tidak direncanakan itu, baik ditunjukkan oleh kalangan guru, baik pria atau pun wanita, dan juga orang tuanya, berdampak terciptanya harapan yang lebih rendah bagi kalangan pelajar perempuan untuk terpacu menguasai teknologi.
Sarah Douglas, professor ilmu komputer dari Universitas Oregon, dalam eksperimennya memajang komputer yang telah diisi aneka program menarik dalam sebuah bursa kerja. Tujuannya untuk mengenalkan profesi-profesi baru yang belum populer dikenali para mahasiswi.
Hasilnya saat itu, tak ada satu pun mahasiswi yang singgah di kiosnya. Ketika ditanya, para mahasiswi itu menjelaskan bahwa komputer itu “barang” dan “dunia” kaum pria, di mana ketika mereka ingin mencoba memasukinya, mereka akan diusir dan dilecehkan. Akibatnya, para perempuan muda terdidik itu menjadi frustrasi dan akhirnya minatnya pun menjadi mati.
Mencoba memperbaiki keadaan, Kevin Treu merancang ulang mata kuliah Pengantar Komputasi dan Ilmu Komputer yang diajarkannya. Tujuan kuliah tetap, tetapi isinya mengalami perubahan, kini dengan sentuhan yang lebih ramah terhadap perempuan. Ketika membahas sejarah komputasi, ia tekankan pentingnya kontribusi kaum perempuan dalam pengembangan ilmu komputer. Misalnya, salah satu programer komputer yang pertama adalah seorang perempuan. Dia adalah Ada Lovelace yang bekerja bersama Charles Babbage pada tahun 1800 saat merancang komputer mekanis yang pertama.
Kalau selama ini kalangan laki-laki selalu menganggap komputer sebagai peralatan mandiri yang canggih, sementara itu kaum perempuan lebih cenderung mengharapkannya sebagai alat yang berguna secara praktis dan relevan bagi kepentingannya sehari-hari. Merujuk hal itu, Treu kemudian merancang mata pelajaran praktik yang melibatkan bahasan manfaat komputer dalam kehidupan nyata.
Perubahan ini berimbas pada perubahan suasana dan aktivitas kelas. Ia mendorong mereka untuk bekerjasama dalam sebuah tim, memaksimalkan pengalaman sosial masing-masing dalam memecahkan masalah dan meminimalkan pola kerja individualis yang penuh persaingan, pola kerja yang tidak disukai kaum perempuan. Perubahan dalam materi kuliahya termasuk ditambahkannya pelajaran etika dan kajian mengenai semakin pentingnya peran komputer dalam aktivitas bekerja jarak jauh (telecommuting), bedah jarak jauh dan pendidikan. Riset menunjukkan bahwa kalangan perempuan lebih tertarik bila dibukakan pemahamannya mengenai manfaat komputer sebagai sarana untuk menolong orang lain dan mempersatukan mereka.
Pendekatan baru Treu tersebut mengisyaratkan perubahan sikap di kalangan guru dalam merancang dan melaksanakan pengajaran komputer yang ramah terhadap perempuan. Antara lain, berilah peluang murid perempuan untuk menjawab pertanyaan seleluasa murid lelaki dan jangan diinterupsi. Jika mereka kesulitan menjawab pertanyaan, jangan alihkan kepada murid lelaki untuk menjawabnya. Hal ini akan hanya memberikan pesan yang salah.
Alokasikan waktu yang sama bagi murid perempuan dan lelaki dalam mempelajari dasar-dasar penguasaan komputer, sehingga siswa perempuan mendapat keyakinan kuat bahwa mereka berangkat dari keterampilan awal yang juga sama. Tidak kalah pentingnya, harus dirancang program bimbingan (mentoring) yang membukakan akses para siswa perempuan terhadap kalangan akademisi dan profesional perempuan untuk menjadi role model mereka.
Untuk yang terakhir ini, kita dapat belajar dari keberadaan lembaga MentorNet di AS. MentorNet (www.advancingwomen.com/wk_mentornet.html) adalah program penasehat nasional industri elektronik untuk perempuan, baik untuk yang telah menyelesaikan atau pun tidak menyelesaikan pendidikan, dalam bidang sains dan teknik.
Lembaga ini membuat suatu hubungan antara siswa dan mentor sukarela dari industri serta perusahaan tertentu melalui kontak dengan surat elektronik (e-mail). Proses yang diperoleh dari pengalaman profesional dan relawan ini membantu siswa dalam memperoleh wawasan mengenai karier, bimbingan belajar dan nasehat yang didasarkan pada pengalaman, dukungan, semangat dan akses terhadap jaringan profesional.
Untuk merespons perkembangan teknologi informasi yang cepat, peranserta Kartini-Kartini muda kita adalah keniscayaan. Oleh karena itu, pendidikan dan karier di bidang teknologi informasi ini harus ditumbuhsuburkan sejak dini. Kalangan guru, orang tua dan mentor, dituntut memberikan informasi dan perilaku yang tepat guna menyemaikan benih-benih ketertarikan terhadap teknologi informasi yang secara naluriah dimiliki oleh siswa laki-laki atau pun perempuan.
Janganlah hanya karena kekolotan pemahaman, kepicikan dan kebutaan kita terhadap masa depan, berakibat sangat fatal di mana jutaan Kartini-Kartini muda kita terbunuh peluangnya untuk berkiprah di dunia teknologi informasi justru diawali ketika mereka duduk di bangku sekolah ! ***
Bambang Haryanto, konsultan komunikasi. Alumnus Universitas Indonesia.
scc
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar